Kamis 08 Mar 2018 12:37 WIB

Kekerasan Terhadap Perempuan Bisa Terjadi di Momen Pilkada

Masyarakat masih memandang perempuan warga kelas dua.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Bali Sruti, Ni Luh Riniti Rahayu memberikan sambutan dalam momen Hari Perempuan Internasional 2018 di Denpasar, Bali, Kamis (8/3).
Foto: Mutia Ramadhani
Ketua Bali Sruti, Ni Luh Riniti Rahayu memberikan sambutan dalam momen Hari Perempuan Internasional 2018 di Denpasar, Bali, Kamis (8/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Seluruh negara di dunia memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2018. Perwakilan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, Masrurah mengatakan sampai saat ini sebagian masyarakat masih memandang perempuan sebagai warga negara kelas dua.

Hal itu berpotensi menyebabkan masih banyaknya kekerasan terhadap perempuan terjadi, tak terkecuali di momen pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti saat ini. Tahun ini sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.

"Jelang Pilkada Bali 2017, potensi terjadinya ujaran kebencian kepada pihak-pihak yang tidak memilih pasangan calon tertentu bisa terjadi. Kami pernah menemukan kasus perempuan yang diancam diperkosa jika tak memilih pasangan calon tertentu, atau perempuan lansia yang diancam dirinya tidak dishalatkan jika tak memilih pasangan calon tertentu," kata Mabrurah di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Kamis (8/3).

Mabrurah mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berperan besar mengingatkan hal ini. Bawaslu perlu memastikan isu ujaran kebencian kepada calon tertentu tidak dilakukan.

"Kami berharap KPU mengintegrasikannya ke dalam pola pendidikan politik bahwa tidak ada yang boleh mendiskriminasikan kelompok tertentu dan tidak ada syiar kebencian terhadap kelompok lain," kata Mabrurah.

Ketua Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sosialisasi KPU Provinsi Bali, Ni Wayan Widhiasthini mengatakan anggapan warga negara kelas dua terkadang dilabeli oleh perempuan itu sendiri. Perempuan-perempuan di Bali di momen pilkada tahun ini perlu memperjuangkan hak pilihnya.

"Azas pemilu sudah jelas, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Perempuan tidak boleh diwakilkan atau mewakilkan pilihannya, apalagi malas pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)," kata Widhiasthini.

Dalam rangka menjawab kegelisahan masyarakat, KPU Bali mengampanyekan 'Pilkada Keren tanpa Hoaks, tanpa Politisasi SARA, dan tanpa Politik Uang.' Widhiasthini mengingatkan masyarakat untuk belajar dari pemilihan umum di daerah-daerah lainnya, seperti Pilgub DKI Jakarta yang dimanfaatkan kelompok tertentu menebar politisasi SARA.

"Kita tetap bersaudara. Jangan mengorbankan event lima tahunan demi persaudaraan Bali ke depan," katanya.

Tahun ini, kata Widhiastini KPU Bali menargetkan partisipasi masyarakat dalam pilkada minimal 75,5 persen mengikuti target nasional. Berkaca dari pengalaman pemilihan gubernur 2013, partisipasi masyarakat Bali di atas 75 persen, kecuali Kabupaten Buleleng. Meski demikian, secara keseluruhan di sembilan kabupaten dan kota, masyarakat Bali sangat aktif menggunakan hak suaranya.

Dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bali akan mengikuti Pilgub 2018. Pasangan I Wayan Koster - Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mendapat nomor urut satu, sementara Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra - Ketut Sudikerta mendapat nomor urut dua.

Mantra-Kerta mengantongi 28 kursi, diusung Partai Golkar (11 kursi), Demokrat (8), Gerindra (7), dan Nasdem (2). Pasangan ini juga didukung PKS, PBB, dan Perindo, serta membidik 60 persen suara dari sembilan kabupaten dan kota di Bali.

Pasangan KBS - Ace mengantongi 27 kursi, diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (24 kursi), Hanura (1), PAN (1), dan PKPI (1). Keduanya juga didukung PKB dan PPP, membidik 70 persen suara dari seluruh Bali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement