Kamis 08 Mar 2018 08:54 WIB

Yusril, Kotak Kosong, dan Capres Alternatif

Kotak kosong cermin gagalnya demokrasi.

Rep: Amri Amrullah, Dessy Suciati, Ali Mansur/ Red: Elba Damhuri
Pelajar dari SMU Permai melihat jenis kotak suara Pemilu di KPU Pusat, Jakarta, Selasa (18/10).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Pelajar dari SMU Permai melihat jenis kotak suara Pemilu di KPU Pusat, Jakarta, Selasa (18/10).

REPUBLIKA.CO.ID Kotak kosong menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia belakangan ini. Pada sisi lain, kemunculan calon presiden alternatif pun mulai meredup. Demokrasi terancam dalam bahaya.

Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menegaskan, partainya tidak akan mendukung koalisi pemerintahan yang mengusung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, sekalipun pemilihan presiden 2019 hanya memunculkan capres tunggal, PBB siap mendukung kotak kosong.

"Kalau pilpres kembali ke calon tunggal atau mengulang 2014, kecenderungan saya adalah PBB lebih baik jadi leader oposisi. Bahkan, kalau calon tunggal PBB, lebih baik dukung kotak kosong saja. Jelas warna PBB seperti apa, jangan tergoda pada kekuasaan," kata Yusril sesaat setelah rapat pleno KPU di Jakarta, Selasa (6/3) malam WIB.

Yusril menambahkan, dirinya melihat kecenderungan akan adanya calon tunggal pada pilpres 2019 mendatang atau setidaknya akan mengulang pilpres 2014 silam yang hanya mempertontonkan dua pasang calon (paslon). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga memperbesar kemungkinan adanya calon tunggal.

Namun, kata Yusril, kemungkinan calon tunggal dapat dipatahkan dengan adanya poros ketiga selain poros Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Namun, usaha untuk memunculkan poros baru sangat sulit terjadi karena bergantung pada hasil Pemilu 2014 dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang cukup tinggi, yaitu 20 persen suara.

"Menurut saya, ini tidak masuk akal dan kami kalah di MK meskipun kami tidak setuju hal itu. Kalau misalnya calon tunggal, barangkali PBB akan kampanye dukung kotak kosong dan menjadi kekuatan oposisi utama di republik ini," kata Yusril menerangkan.

PBB sendiri baru ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2019 dan mendapatkan nomor urut 19. Hal itu terjadi setelah Bawaslu mengabulkan seluruh permohonan PBB. Bawaslu membatalkan keputusan KPU tanggal 17 Februari 2018 Nomor 58/PL.01.1-KPT/03/KPU/II/2018 tentang penetapan partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPR kabupaten/kota 2019 terbatas pada diktum kedua yang menetapkan PBB tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPR kabupaten/kota tahun 2019.

Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, cukup menyayangkan makin kecilnya peluang capres alternatif muncul di pilpres 2019. Padahal, banyak nama alternatif yang mungkin bisa menjadi pilihan sebagai pemimpin yang berkualitas untuk Indonesia.

Dia mengatakan, dengan koalisi besar PDIP yang mengusung Joko Widodo sebagai capres bersama, beberapa parpol di parlemen memunculkan dominasi politik atas capres tertentu. Menurut dia, banyak partai politik merasa kalah sebelum bertanding. "Hal ini mematikan demokrasi dengan defisit kader terbaik partai untuk capres," ungkap Rully kepada wartawan, Rabu (7/3).

Dengan tertutupnya peluang kader partai atau tokoh terbaik bangsa diusung sebagai capres maka akan sangat sulit capres alternatif muncul sebagai pilihan untuk memimpin bangsa ini. Desain pilpres seperti ini, menurut dia, sama saja mengarah kepada calon tunggal.

"Dan ini adalah kegagalan partai politik yang makin banyak bermunculan, tetapi tidak menghasilkan kaliber pemimpin nasional," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement