Ahad 04 Mar 2018 03:06 WIB

Yusril di Dua Jam Malam Itu!

Menulis gugatan PBB ke PT TUN untuk selesaikan sengketa PBB vs KPU.

Prof DR Yusril Ihza Mahendra
Foto: Sabar sitanggang (Yusril)
Prof DR Yusril Ihza Mahendra

Oleh: Sabar Sitanggang*

Penanda waktu di laptopku menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul 23:38! Tapi, laki-laki ini masih asyik dengan tuts-tuts laptopnya.

Dia begitu serius dan teliti memeriksa setiap kata yang membentuk kalimat dan membangun sebuah logika dalam kerangka berpikir hukum.

Ya, laki-laki ini sedang mempersiapkan draf gugatan Partai Bulan Bintang (PBB) yang akan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara alias PT TUN, sebagai konsekuensi dari Sengketa Pemilu akibat Keputusan KPU yang tak meloloskan 24 partai, PBB salah satunya.

Sesungguhnya aku hanya diminta untuk mengantar UU Parpol, sesaat laki-laki ini akan meninggalkan kantor tadi, 4 jam sebelumnya.

"Bar, nanti Anda cari UU Partai Politik, dan antar ke rumah ya!"katanya.

"Baik, Bang,"jawabku.

Sekitar pukul 21.30, aku tiba di rumah laki-laki ini. Aku ucapkan salam, terdengar jawaban. Tapi,laki-laki ini tak menoleh. Karenanyanya aku pun urung mengulurkan tangan, seperti kebiasaanku, untuk menyalaminya.

"Ah, biarlah. Guruku sedang serius,"pikirku.

Hampir 40 menit, aku menunggu. Sepi. Tak ada komunikasi verbal. Kami saling diam. Aku menunggu sambil otak-atik blackberry, laki-laki ini terus asyik dengan laptopnya.

"Bar!"Tiba-tiba aku dengar sapaan.

"Ya, Bang!"aku sigap merespon.

"Undang-undang tentang keterwakilan perempuan ini tampaknya sederhana. Tapi, setelah saya baca ulang, agak rumit dan cenderung timpang tindih antara pasal-pasal dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu,"terangnya.

Aku tak langsung merespon, hanya berusaha memahami. Aku hanya berusaha menangkap apa yang menjadi keseriusan laki-laki ini. Aku buka UU Pemilu, terkait pasal itu. Aku cari penjelasannya, aku baca. Dan benar, ada sedikit jebakan dan kerancuan, jika kita memang tak cermat menelaahnya.

Sungguh, aku memaksimalkan bekal pengetahuan logika yang aku pelajari. Beruntung aku pernah belajar matematika agak serius, dan sekadar filsafat. Sekitar 15 menit aku membolak-balik apa yang disebut laki-laki itu, aku menemukan sebuah sudut dalam makna penjelasan itu.

"Maaf, Bang,"kataku memulai pembicaraan. Kulihat laki-laki itu menghentikan gerakan jarinya dan menoleh padaku.

"Ya,"katanya.

"Menurut Sabar, kalau di dalam bahasa matematika, untaian ini adalah DEFENISI yang BERBATASAN. Defenisi adalah sampai pada apa yang dimaksud ini, misalnya A. Dan Batasannya adalah, anak kalimatnya misalnya B. Sehingga kalau ditulis utuh menjadi A-B,"paparku.

Laki-laki itu agak mengertukan dahinya. Tampaknya ia berpikir keras.

"Itu dari pendekatan matematik, Bang. Soal formulasi hukumnya, ya Profesor Hukum-lah ahlinya,"pancingku mencairkan suasana.

"Tapi, bagaimana Anda memakna kalimat setelah koma ini, Pasal 20?"tanya laki-laki itu.

"Ya tadi itu, dia menjadi definisi yang lebih umum. Makanya dibatasi oleh koma yang maknanya setara, Bang! Dia melingkupi domain X dan Y. Dan saat frasa ini muncul kembali di Pasal 8 ayat (2) dia mengulang frasa pada penjelasan yang maknanya umum dengan tambahan anak kalimat B. Dan ternyata B itu menjadi batasan A, jadilah dia A-B, Bang,"terangku lagi.

Suasana hening sejenak. Beberapa menit kemudian, laki-laki itu bicara. "Ya, saya paham sekarang! Ini harus dipahami utuh dan melingkar. Frasa ini membutuhkan logika tinggi untuk memahaminya,"terang laki-laki itu.

Dan sejurus kemudian, dia larut lagi dengan laptop dan jari-jarinya lincah bergerak di antara huruf-huruf pada keyboard-nya. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum puas. Malam itu, selama 2 jam aku mendapat pencerahan dari laki-laki itu. Saat matematika, dengan sedikit filsafat bertemu hukum. Dan aku bersyukur kembali. Kulihat rekanku yang datang belakangan dan ikut dalam diskusi itu pun wajahnya berseri-seri dan mengangguk-angguk.

Dan sebagai hadiah buat para fesbuker, aku jepret aksi keseriusan laki-laki itu saat menggerakkan jari-jarinya papan hurup laptopnya.

Beginilah kalau laki-laki itu, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, sedang serius. Serius mempersiapkan draf Gugatan PBB ke PT TUN atas Keputusan KPU Nomor 05/2013 tentang Partai Politik Peserta Pemilu 2014, dimana aku terlibat di antara sela-sela waktunya, 2 jam saja. 2 Jam yang berarti dalam.

"Pulang pagi lagi deh! Maaf, ya Mak!"kataku dalam hati.

Sesampai di rumah, aku sempatkan membuka kembali blackberry dan memeriksa cuitan laki-laki itu. Aku dapati catatan seperti ini :

"Seharian sampai larut malam saya menulis gugatan PBB ke PT TUN untuk selesaikan sengketa PBB vs KPU. Saya putuskan untuk tulis sendiri gugatan ini agar komprehensif dan benar-benar argumentatif. Banyak aturan yang bertentangan dalam UU Pemilu terkait verifikasi dan persyaratan peserta pemilu, yang harus ditelaah dengan jernih dan hati-hati. Mohon do'a pendukung dan simpatisan, semoga gugatan ke PT TUN ini berhasil positif selesaikan sengketa PBB vs KPU".

Kembali aku tersenyum. Sebuah senyum kebahagiaan.

"Terima kasih, Guruku!"

*Sabar Sitanggang, Aktivis PBB dan Fisikawan alumni UGM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement