Sabtu 03 Mar 2018 20:50 WIB

Kasus Ba'asyir: Intervensi Australia Bisa Diikuti yang Lain

Tidak seharusnya pihak asing turut campur terhadap hukum dan politik negara lain.

Rep: Puti Almas/ Red: Israr Itah
Abu Bakar Ba'asyir.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Abu Bakar Ba'asyir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti terorisme The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan, sikap Australia yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak memberi keringanan hukuman pada Ustaz Abu Bakar Ba'asyir sebagai bentuk intervensi. Ia menilai, tidak seharusnya pihak asing turut campur terhadap hukum dan politik negara lain.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Australia melalui Kementerian Luar Negeri negara itu memberi pernyataan yang mendesak Indonesia agar tidak memberi keringanan apapun terhadap Ba'asyir. Pernyataan itu muncul setelah adanya wacana bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan agar ulama yang juga merupakan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mumin itu menjadi tahanan rumah karena faktor usia dan kondisi kesehatannya yang terus menurun.

Australia meminta agar Pemerintah Indonesia menghukum Baasyir seadil-adilnya. Negara itu terus menekankan bahwa ulama tersebut merupakan terpidana terorisme yang berbahaya, secara khusus terkait dengan serangan bom di Bali pada 2002.

Harits menilai bukan tidak mungkin sikap Australia, juga akan diikuti oleh negara-negara lainnya yang memiliki kerja sama di bidang terorisme dengan Indonesia, seperti Amerika Serikat (AS). Bukan tidak mungkin Negeri Paman Sam nantinya ikut menekan Indonesia atas nama war on terrorism.

"Kita tidak ingin negara ini disetir oleh pihak asing mana pun. Bagaimanapun citra, kewibawaan, dan kredibilitas para pemimpin NKRI menjadi pertaruhan di hadapan rakyat Indonesia," ujar Harits kepada Republika.co.id, Sabtu (3/3).

Ba'asyir pertama kali menjadi terpidana terorisme pada 2004 atas keterlibatan dirinya dalam peristiwa bom Bali dan bom Hotel JW Marriott. Ia dijatuhi vonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sementara pada 2011, ia kembali menerima vonis 15 tahun penjara dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Baasyir terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh pada 2010.

Harits mengatakan, jika terkait kasus bom Bali, seperti yang kerap ditekankan oleh Australia, Ba'asyir telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan. Ba'asyir yang juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Ngruki, Surakarta itu saat ini menjalani vonis hukuman terkait kasus terorisme yang berbeda.

"Lalu keadilan model apa lagi yang mau dicari oleh negara asing di NKRI ini? Sepertinya Australia sangat paranoid dan dendam dengan sosok orang tua seperti Ustaz Ba'asyir," kata Harits menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement