Rabu 28 Feb 2018 04:37 WIB

Agama dan Ekonomi

Beda sekali antara sistem ekonomi Islam, liberal, dan sosialisme.

Ilustrasi Kesenjangan Ekonomi
Foto:

Sistem ekonomi

Sistem ekonomi yang hendak dibangun dan dikembangkan Sjafruddin bukanlah sistem ekonomi liberalis dan atau sosialis Marxis. Tetapi, sebuah sistem ekonomi yang lain dari keduanya. Beliau menyebutnya dengan sistem ekonomi jalan tengah.

Jika dianalogikan, Sjafruddin memosisikan sebuah sistem dari salah satu sudut dari sebuah segitiga, di mana pada dua buah sudut di alas segitiga adalah liberalisme dan sosialisme. Maka sudut ketiga yang terletak di puncak adalah sistem ekonomi Islam.

Dalam model ini, kata Sjafruddin, semua pihak baik produsen, distributor, konsumen, ataupun pemerintah harus tunduk dan patuh kepada nilai dan norma.

Untuk itu, kata Sjafruddin, ”... dalam usaha mencari nafkah itu kita harus memperhatikan dan memegang teguh norma-norma moral yang tinggi. Kaum Muslimin tidak boleh mencuri, menipu, memaksa secara kasar atau halus, menyalahgunakan amanah, dan lain-lain sebagainya, untuk memperoleh keuntungan”.

Di sini tampak sekali beda antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal dan sosialisme Marxisme. Kedua sistem terakhir tersebut, tidak mengundang agama ke dalam kehidupan ekonomi. Mereka hanya mengandalkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang ada.

Paradigma yang mereka pergunakan adalah bagaimana bisa mendapatkan untung maksimal, dengan biaya yang sedikit-dikitnya.

Sementara itu, dalam ekonomi Islam, menurut Sjafruddin, manusia secara imperatif disuruh mencari nafkah yang motivasinya, bukan memuaskan hawa nafsu mencari kekayaan maksimal.

Dalam mencari nafkah, menurut Sjafruddin, seseorang harus memperhatikan halal dan tidaknya sumber pendapatan atau mata pencahariannya tersebut. Sumber mata pencaharian yang halal itu menurut Sjafruddin ada tiga macam.

Pertama, usaha dan kerja sendiri dengan cara yang diridhai Allah SWT. Kedua, dagang, yaitu pertukaran barang atau jasa yang harus dilakukan berdasarkan suka sama suka, tidak boleh ada unsur curang atau paksaan.

Dagang harus bersih dari unsur-unsur curang atau batil dan paksaan atau riba, juga spekulasi yang bersifat judi terlarang. Ketiga, pemberian yang diberikan dengan sukarela. Tetapi, kita harus tahu, menurut ajaran Islam, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.

Pandangan Syafruddin yang dipaparkan di atas, menjadi renungan penting dalam membangun ekonomi bangsa saat ini yang semakin timpang dan akut karena melupakan nilai-nilai moralitas, terutama persoalan keadilan sosial dan ekonomi. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement