Selasa 27 Feb 2018 17:12 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Booming Komoditas dan Ekonomi Indonesia

Meningkatnya harga komoditas secara otomatis mengerek pertumbuhan ekonomi.

Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satria K Yudha

Perekonomian Indonesia mulai mereguk kembali manisnya harga komoditas. Meski kenaikan harganya belum signifikan, namun efeknya sudah terasa terhadap pertumbuhan ekonomi Tanah Air.

Harga komoditas seperti batu bara beranjak naik. Bank Indonesia (BI) mencatat, harga batu bara per Januari 2018 mencapai 87,75 dolar AS per ton. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode Januari 2016 yang berada di bawah 50 dolar AS per ton.

Pemulihan ekonomi global yang terus berlanjut, mendorong kenaikan volume perdagangan dunia. Inilah yang berdampak pada kenaikan harga komoditas.

Membaiknya harga komoditas tentu menjadi angin segar bagi perekonomian Indonesia sebagai negara kaya SDA. Tak heran, saat harga komoditas membaik, ekonomi Indonesia pun meningkat.

Tahun lalu, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen. Tingkat pertumbuhan tersebut memang belum sesuai target pemerintah yang sebesar 5,17 persen. Akan tetapi, ekonomi Indonesia setidaknya mampu mempertahankan tren peningkatan pertumbuhan yang terjadi pada 2016 setelah enam tahun sebelumnya dalam tren menurun.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2017 bukan hanya lebih tinggi dibandingkan 2016, tapi juga memiliki struktur yang lebih baik lantaran ditopang investasi dan ekspor.

Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi penopang pertumbuhan, tumbuh lebih rendah dibandingkan investasi dan eskpor. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen. Adapun investasi tumbuh 6,15 persen, sedangkan ekspor tumbuh 9,09 persen.

Perbaikan ekspor didorong oleh komoditas primer. Sementara pertumbuhan ekspor manufaktur masih relatif terbatas.

Jika dilihat berdasarkan struktur nilai ekspor, peran sektor pertambangan mencapai 14,39 persen sepanjang 2017 atau lebih tinggi dibandingkan 2016 yang sebesar 12,51 persen.

Meningkatnya harga komoditas secara otomatis mengerek pertumbuhan ekonomi daerah. Provinsi Kalimantan contohnya. Perekonomian daerah penghasil batu bara tersebut tumbuh 4,33 persen sepanjang tahun lalu. Laju pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan 2015 yang hanya tumbuh 1,37 persen dan 2016 sebesar 2,01 persen.

BI mengingatkan pemeritah pusat dan daerah agar tidak terlena dengan tren kenaikan harga komoditas. "Kalau harga tinggi, ekonomi kita juga tumbuh tinggi. Tapi kalau harga turun, kita juga turun," kata Sugeng, belum lama ini.

Supaya tak bergantung komoditas, pemerintah harus lebih giat mencari sumber pertumbuhan baru. Sugeng mengatakan, BI juga telah menginstruksikan kantor perwakilan di seluruh Indonesia untuk menggali sektor-sektor yang bisa menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi daerah.

Pariwisata merupakan salah satu sektor yang bisa dijadikan sumber pertumbuhan baru. Selain mampu mendatangkan devisa, pariwisata sangat ampuh dan memiliki efek cepat dalam membuka lapangan pekerjaan.

Sejak awal, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla menggaungkan misi untuk menjadikan pariwisata sebagai mesin pertumbuhan baru. Pemerintah pun sudah menetapkan empat wilayah sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata. Keempat KEK tersebut adalah KEK Tanjung Lesung, KEK Tanjung Kelayang, KEK Mandalika, dan KEK Morotai.

KEK pariwisata juga perlu dikembangkan di daerah lain, salah satunya di Sumatra Barat (Sumbar). Sumbar memiliki begitu banyak potensi wisata yang dapat menarik wisatawan asing maupun domestik. Sayangnya, pembentukan KEK di kawasan wisata Mandeh, Padang, belum terealisasi.

Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Sumatra Barat Endy Dwi Tjahjono mengatakan, KEK pariwisata dibutuhkan agar ekonomi sumbar bisa tumbuh lebih tinggi. Selama ini, ekonomi Sumbar masih bergantung ke pertanian dan perkebunan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement