REPUBLIKA.CO.ID, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan sosok kriteria yang dinilai pantas mendampingi Joko Widodo (Jokowi) dalam bursa pemilihan presiden 2019 mendatang. Menurut dia, sosok calon wakil presiden di era mendatang harus dapat menambah elektabilitas presiden.
"Artinya, tidak mengikuti elektabilitas Jokowi, tapi menambah konstituen," ujar JK seusai membuka Rapimnas Institut Lembang 9 di Hotel Arya Duta, Senin (26/2).
JK menilai calon pendamping Jokowi di 2019 harus dikenal baik oleh masyarakat dan memiliki suara yang cukup besar. Selain itu, sosok pendamping Jokowi harus mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam pemerintahan sehingga siap jika sewaktu-waktu diminta menggantikan posisi sebagai presiden.
JK mencontohkan, dari enam presiden Indonesia, dua di antaranya merupakan wakil presiden yang naik jabatan menggantikan posisi presiden. Dua sosok tersebut yakni wakil presiden ketujuh BJ Habibie yang menggantikan presiden kedua Soeharto yang digulingkan pada 1998.
Kemudian, pada 2001, wakil presiden kedelapan Indonesia Megawati Soekarnoputri menggantikan kedudukan presidens keempat Abdurrahman Wahid yang dicabut mandatnya oleh MPR.
Belajar dari pengalaman tersebut, JK menilai sosok calon wakil presiden ke depan harus memiliki pengalaman mengatur pemerintahan. Dengan begitu, ketika ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukan presiden, pemerintahan negara bisa tetap berjalan.
"Artinya, tokoh itu harus mantap karena, kalau tidak, pengalaman Pak Habibie, kalau tidak siap, bagaimana? Harus memiliki pengalaman pemerintah, mengatur pemerintah," kata JK.
JK tak mempermasalahkan apakah nantinya Jokowi menunjuk calon pendampingnya dari kalangan birokrat maupun politisi. Menurut dia, hal yang terpenting, sosok tersebut harus memiliki kemampuan yang baik.
JK menegaskan, ia tidak akan mencalonkan diri lagi dalam bursa pemilihan presiden 2019 karena tidak ingin melanggar undang-undang. "Bahwa ada yang mengusulkan saya untuk ikut lagi, tentu saya berterima kasih, tetapi kita harus mengkaji dengan baik undang-undang kita, undang-undang dasar," ujar JK.
Senada dengan JK, politikus Golkar Bambang Soesatyo menilai sosok cawapres yang dibutuhkan Jokowi adalah yang mampu menambah elektoral bagi Jokowi. "Jadi, harus ada nilai tambahnya, bukan malah jadi beban daripada Pak Jokowi itu sendiri," ujar Bambang.
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Oedang (OSO) mengatakan, satu kriteria yang tepat untuk mendampingi Jokowi adalah seseorang yang mengimbangi Jokowi. "Kriteria untuk mendampingi Jokowi ini tidak sederhana karena orangnya kurus, larinya cepat. Kalau orang yang larinya sendat-sendat, ya, ketinggalan sama dia," ujar OSO.
Menurut dia, kriteria cawapres Jokowi tidak hanya sebatas dari militer, ekonomi, atau pengusaha semata, tetapi juga dari seluruh komponen yang mewakili kepentingan sosial, budaya, ekonomi, dan kemasyarakatan.
Enam variabel cawapres Jokowi
Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago berpendapat ada enam variabel yang harus diperhatikan dalam memilih sosok pendamping Jokowi. Variabel pertama merupakan kriteria atau latar belakang tokoh yang akan digandeng. "Bisa dari konteks latar belakang, jam terbang, dan kapasitas,” kata Pangi.
Variabel kedua adalah representasi basis parpol pengusung. Sebab, biasanya partai pengusung akan mendorong kadernya sendiri. Hal ini harus diperhatikan agar Jokowi nyaman dengan pendampingnya kelak.
Variabel ketiga adalah racikan elektoral cawapres yang melingkupi popularitas, aksestabilitas, dan elektabilitas. Sosok pendamping harus bisa memberikan nilai tambah dalam hal ini. Jangan sampai, pemilihan sosok pendamping justru malah menggembosi elektabilitas Jokowi yang sudah baik.
Variabel berikutnya adalah faktor kenyamanan. Jokowi harus dipasangkan dengan sosok yang memiliki kesamaan. Jangan sampai kedua sosok ini justru terkesan bersaing untuk lebih menonjol. Hal itu tentu tidak sehat untuk pemerintahan.
Terakhir, partai pengusung juga harus memperhatikan segmen pemilih dari capres dan cawapres.
Cawapres yang ditunjuk sebaiknya memiliki basis massa yang berbeda dengan Jokowi. "Kombinasi ideal yaitu nasionalis-religius. Misalnya, Jokowi dengan basis ideologi nasionalis maka mesti menggandeng calon wakil presiden dari basis religius," kata Pangi. (Pengolah: muhammad hafil).