Ahad 25 Feb 2018 03:19 WIB

Pentingnya Tenun Lurik di Mata Generasi Kekinian

Lurik merupakan warisan budaya yang usianya bahkan sudah mencapai ribuan tahun.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Puluhan mahasiswa-mahasiswa dari Jepang mengikuti seminar dan talkshow Tenun Lurik, Its History, Present and Future di Pertamina Tower UGM, Sabtu (24/2).
Foto: Wahyu Suryana/REPUBLIKA
Puluhan mahasiswa-mahasiswa dari Jepang mengikuti seminar dan talkshow Tenun Lurik, Its History, Present and Future di Pertamina Tower UGM, Sabtu (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tenun Lurik merupakan salah satu harta berharga yang dimiliki Indonesia. Seperti Sasirangan, Batik, Ulos, Songket dan kain-kain yang ciri khas daerah-daerah di Indonesia, Lurik merupakan warisan budaya yang usianya bahkan sudah mencapai ribuan tahun.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah jadi dua pusat peradaban tenun lurik. Generasi lama tentu mengenal nama-nama seperti Mbah Dibyo di Yogyakarta dan Pak Rahmat di Klaten, dua dari begitu banyak maestro-maestro tenun lurik yang namanya harum sampai sekarang.

Kini, perjuangan tenun lurik sudah sampai ke tangan pengusaha-pengusaha muda. Walaupun potensi-potensi yang dimiliki tenun lurik belum tergali secara maksimal, tentu sentuhan muda dalam perjuangan tenun lurik merupakan fakta yang cukup menenangkan.

Pemilik Kurnia Lurik, Afriani Irfani menjelaskan, industri tenun lurik yang digelutinya ini merupakan peninggalan turun-temurun keluarganya yang telah dimulai sejak 1962. Kakeknya, Mbah Dibyo, merupakan salah satu maestro tenun lurik di Yogyakarta.

Ia mengungkapkan, saat ini pekerja-pekerja di Kurnia Lurik rata-rata sudah memasuki usia 50-60 tahun. Bahkan, Mbah Sis, salah satu pekerjanya, kini telah berusia sekitar 85 tahun, dan menjadikannya pekerja tertua di Kurnia Lurik.

Kepada generasi milenial seusianya, ia tidak bosan membagikan cerita proses-proses panjang yang harus ditempuh para pengrajin sampai melahirkan satu kain tenun batik. Termasuk saat menjadi pembicara di seminar Tenun Lurik, Its History, Present and Future.

Gambar proses mulai dari pewarnaan, pemintalan, penyekiran, penyucutaan sampai pembuatan motif, telaten ia tampilkan sambil dijelaskan satu-persatu. Tidak muluk-muluk, harapannya hanya agar generasi muda dapat memahami betapa berharganya harta bernama lurik tersebut.

"Semoga generasi muda bisa terus melestarikan, dan industri tenun lurik dapat terus berkembang," kata pria yang akrab disapa Ryan itu di Djarum Hall Pertamina Tower, Sabtu (24/2).

Pada seminar yang terselenggara atas kerja sama Hiroshima University of Economics dan Universitas Gadjah Mada tersebut, turut hadir Safira Larasati. Pemilik Lurik Larasati ini turut membagikan kisahnya membangun usaha lurik berbasis daring (online) yang dimiliki.

Laras, sapaan akrabnya, mengaku memang belum terlalu lama terjun ke dunia bisnis lurik. Kecintaannya sendiri baru dimulai sekitar awal 2016, dan mulai menjual belikan lurik jadi melalui Instagram pada akhir 2017.

Pangsa pasar yang dituju memang merupakan generasi muda, terutama mahasiswa-mahasiswa yang tentu begitu melimpah jumlahnya di DIY. Terlebih, pemahaman anak-anak kekinian biasanya hanya lurik sebagai pakaian yang biasa digunakan kusir-kusir delman atau abdi-abdi ndalem.

Ia menegaskan, tenun lurik tidak sebatas itu dan sebenarnya memang sangat bisa digunakan sehari-hari, tentu dengan sentuhan-sentuhan kreatif. Menurut Laras, sayang jika generasi penerus tidak memakai lurik, salah satu kain budaya asli warisan Indonesia.

"Tidak perlu sampai tahu prosesnya, minimal pakai saja dulu," ujar Laras.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement