Senin 09 Dec 2019 01:42 WIB

Menciptakan Lapangan Kerja dari Menenun Lurik

Berawal dari satu alat tenun lurik, Suyatmi kini mampu menciptakan lapangan kerja.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yudha Manggala P Putra
Perajin menyelesaikan proses pembuatan lurik. Ilustrasi
Foto: Antara
Perajin menyelesaikan proses pembuatan lurik. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN -- Senyum terpancar dari wajah perempuan berkerudung, Suyatmi (38) saat bercerita tentang perubahan hidup yang ia alami sejak menekuni tenun lurik. Suyatmi merupakan salah satu penenun lurik dari Desa Karangasem, Cawas, Klaten, Jawa Tengah.

Sebelum menjadi penenun lurik, Suyatmi merupakan buruh tani. Penghasilannya bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan ia dan seluruh keluarganya.

Per hari, ia hanya mendapat Rp 50 ribu sebagai buruh tani. Bahkan, pekerjaan tersebut tidak bisa tiap hari ia lakukan karena permintaan yang juga tidak selalu datang tiap hari.

"Saat jadi buruh sawah, penghasilan sehari Rp 50 ribu. Tapi, setelah satu hari bekerja itu, istirahatnya bisa berminggu-minggu," kata Suyatmi kepada Republika di Karangasem, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, dalam kegiatan Care Visit Dompet Dhuafa Yogyakarta, Sabtu (7/12).

Namun, pada 2017 ia menerima satu unit alat tenun lurik tradisional yang disebut tustel dan modal sebesar dua juta rupiah dari Dompet Dhuafa Yogyakarta sebagai bentuk pemberdayaan kepada masyarakat. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menenun lurik hingga saat ini.

Dengan komitmen yang ia pegang untuk terus menenun, saat ini usahanya tersebut terus berkembang. Bahkan, dalam waktu dua tahun ia sudah memiliki dua unit tambahan tustel.

Artinya, ia juga memiliki dua orang karyawan. Penghasilannya pun saat ini sudah semakin meningkat.

Bahkan, ia juga dapat menghidupi orang lain yang ada di desanya. Dengan begitu, tidak hanya meningkatkan taraf hidup ia dan keluarganya, namun juga menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

"Awalnya diberi satu tustel sama Dompet Dhuafa, produksi meningkat, penjualan juga dibantu, pelanggan tambah banyak," kata Suyatmi.

Dengan cara tradisional yang masih diterapkan, penjualan lurik Suyatmi pun menyasar pasar hingga ke luar daerah. Termasuk warga Karangasem lainnya yang juga mendapatkan bantuan dan diberdayakan oleh Dompet Dhuafa Yogyakarta.

"Penghasilan lebih dari UMR, penjualan sampai ke Jakarta, Riau, Polewali Mandar di Sulawesi Barat sama ke Kalimantan," katanya.

Suyatmi menceritakan, ia dapat menghasilkan lurik yang ia tenun sendiri dengan mencapai delapan hingga 10 meter per harinya. Dengan memiliki dua karyawan, satu bulan ia bisa menghasilkan lurik hingga 200 hingga 250 meter per bulan.

Selain menggunakan cara yang masih tradisional sebagai upaya untuk melestarikan lurik, pewarna yang digunakan juga pewarna dari bahan-bahan yang terdapat dari alam. Hal itu tentu menambah nilai jual lurik itu sendiri.

Motif lurik yang banyak ia produksi yakni motif kombinasi. Yang mana, tingkat kesulitannya lebih tinggi.

Sehingga, harga yang ditawarkan pun juga tinggi. "Kalau lurik halus dengan motif kombinasi itu satu potongnya bisa Rp 90 ribu. Kalau lurik kasar itu Rp 45 ribu per potong," ujarnya.

Pendamping pemberdayaan lurik dari LSM Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (Persepsi), Rody Hanan Wibowo mengatakan, ada 30 perempuan yang dibina bekerja sama dengan Dompet Dhuafa Yogyakarta untuk menjadi penenun lurik di Karangasem. Rata-rata, mereka merupakan buruh tani sebelum beralih menjadi penenun lurik.

"Setelah didampingi dan berkembang sampai sekarang, ibu-ibu ini sudah berkembang. Bahkan yang dulu sebagai orang yang disantuni, Alhamdulillah sekarang sudah bisa bersedekah," ujarnya.

Ia menjelaskan, selain Suyatmi masih banyak penenun yang sukses setelah dibina. Bahkan, ada yang sudah memiliki 22 karyawan yang awalnya hanya diberi bantuan satu unit alat tenun.

Yang mana, omset dalam satu bulan yang didapatkan hingga mencapai Rp 40 juta rupiah. Pemasarannya lurik di Karangasem ini pun mencapai Australia.

 

"Ibu Ratni misalnya, dulu seorsng buruh tenun biasa. Yang sehari-hari penghasilannya hanya Rp 30 ribu. Belum ada tiga tahun, ibu ini sudah memiliki 22 tustel yang berawal dari satu tustel dan modal dua juta dari Dompet Dhuafa," jelasnya.

Melalui penenun lurik di Karangasem, ia berharap lurik ini terus dikenal hingga mancanegara. Sehingga, dapat terus dilestarikan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di Karangasem, Cawas, Klaten, Jawa Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement