Sabtu 24 Feb 2018 06:03 WIB

Mempromosikan Islam di Indonesia

Islam menjadi penjaga toleransi di Tanah Air.

Umat Islam mendengarkan ceramah agama di masjid (ilustrasi).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Umat Islam mendengarkan ceramah agama di masjid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Fikom Universitas Islam Bandung

Dunia pariwisata di berbagai negara menunjukkan ketertarikannya pada Islam. Di antaranya, Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut memang kerap berlomba dalam segala hal, termasuk di bidang pariwisata.

Awalnya adalah Jepang yang menyediakan mushala di bandara untuk para turis Muslim asing yang berkunjung ke negeri sakura tersebut. Kemudian diikuti dengan berbagai menu makanan halal bagi para Muslim yang datang ke sana. Kini, Korea Selatan (Korsel) yang pernah dijajah oleh Jepang juga melakukan hal serupa.

Di bandara Incheon, Korsel kita bisa menemukan sebuah ruang ibadah yang bentuknya mirip mushala di Indonesia. Para wisatawan Muslim pun dimanjakan dengan menu makanan halal yang bisa disantap secara leluasa. Bagi warga asing yang menetap di Korsel, kebebasan beribadah pun bisa diperoleh selama kegiatannya tidak mengganggu pihak lain.

Jika kita berkunjung ke Gold Coast, Australia, kita akan menemukan bahwa di berbagai tempat wisata di di kota pantai itu dilengkapi dengan mushala. Hal ini tidak mengherankan karena jumlah pengunjung Muslim ke sana, sangatlah banyak. Tak heran jika pengelola wisata di sana menyiapkan fasilitas yang memadai untuk membuat para wisatawan betah dan terkesan. Jika wisatawan sudah terkesan, bisa dipastikan mereka akan mempromosikannya kepada kenalan dan kerabat di negara asal.

Peluang Indonesia

Melihat keseriusan negara-negara tersebut menggarap wisatawan Muslim, tebersit pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan hal yang sebaliknya? Mengapa Indonesia tidak menggenjot pariwisata dengan mempromosikan Islam di Indonesia.

Selama ini, media massa di negara-negara Barat khususnya, menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan. Penggambaran Islam di media massa tersebut identik dengan teror, darah, dan bom bunuh diri.

Padahal, para pelakunya bukanlah orang yang melaksanakan Islam secara benar. Mereka adalah oknum yang sebagian tak paham dengan tindakan yang dilakukannya.

Namun, penggambaran negatif di media massa yang terus-menerus dan tak pernah coba diubah oleh para awak media tersebut telah menyebabkan Islam semakin dicurigai di mana-mana. Padahal jika kita melihat Islam di Indonesia, kondisinya sangat berbeda dengan pemberitaan di media massa.

Di negeri ini, banyak penganut agama Kristen/Katholik yang hidup berdampingan secara damai selama puluhan tahun tanpa konflik. Toleransi umat Islam yang mayoritas di Indonesia terhadap agama minoritas bisa dilihat dari Pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Saat perayaan Hari Raya Nyepi tiba dan Pulau Bali ditutup untuk pendatang dari luar Bali karena mereka tak boleh menyalakan api/lilin/listrik, umat Islam menghormatinya. Selama puluhan tahun hal tersebut berlangsung sebagai bagian dari toleransi umat beragama di negeri ini.

Pengakuan akan agama-agama yang penganutnya lebih sedikit dibandingkan mayoritas penduduk Indonesia yang Islam, juga terlihat dari kalender yang menentukan cukup banyak tanggal merah atau hari libur pada peringatan keagamaan untuk agama-agama di luar Islam.

Bahkan, setelah memasuki era reformasi, Imlek yang merupakan tahun baru Cina pun diakomodasi pemerintah dengan meliburkannya. Jika terjadi satu atau dua konflik antarumat beragama biasanya masalahnya minor. Namun, jika media massa memutuskan untuk “meramaikan” hal tersebut, situasinya menjadi berbeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement