Jumat 23 Feb 2018 11:18 WIB

Survei Median: Tren Elektabilitas Jokowi Seperti Ahok

Elektabilitas Ahok juga awalnya tinggi tapi turun terus dan kemudian kalah di Pilgub

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Basuki Tjahaja Purnama (kiri)
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Basuki Tjahaja Purnama (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dinilai memiliki kemiripan dengan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Kemiripan ini karena di dalamnya masing-masing terdapat sosok yang diunggulkan melalui banyak hasil survei. Namun, bagi segelintir kalangan, nasib di Pilgub DKI tidak boleh terulang di Pilpres 2019.

Lembaga survei Media Survei Nasional (Median) memberikan lampu kuning kepada keterpilihan calon presiden pejawat Joko Widodo (Jokowi). Lantaran, meski dari hasil surveinya menunjukkan elektabilitas paling tinggi di antara tokoh-tokoh yang lain, suara Jokowi lambat laun menurun.

Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, enggan menyebut Jokowi berada dalam posisi yang aman, sebab suara Jokowi tidak menyentuh 50 persen. Menurunnya elektabilitas Jokowi menimbulkan banyak kemungkinan.

Kemungkinan pertama elektabilitas Jokowi tidak akan jatuh sampai di bawah tokoh yang lain, atau kedua, jatuh tapi tetap paling tinggi di antara tokoh lain. Rico mencontohkan hasil survei Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub DKI lalu, yang selalu unggul dibandingkan lawan-lawannya.

"Contohnya Pak Ahok, dari survei dulu itu kan di atas 50 persen tapi turun terus. Dan karena trennya turun, makanya ambruk kalah. Apalagi ini Pilpres, ini juga sama, harus 50 persern plus 1 kan (untuk hanya satu putaran), jadi mirip seperti Pilkada DKI Jakarta dulu, makanya harus hati-hati," kata dia di Jakarta, Kamis (22/2).

Hasil survei Median, menunjukkan elektabilitas Presiden RI Joko Widodo dari bulan ke bulan terus mengalami penurunan tipis. "Secara konsisten suara Jokowi mengalami penurunan," kata Rico.

Pada April 2017 lalu, elektabilitas berada di angka 36,9 persen lalu turun menjadi 36,2 persen pada Oktober 2017. Kemudian, turun lagi menjadi 35,0 persen pada Februari 2018 ini.

Elektabilitas mantan wali kota Surakarta ini pun tidak pernah beranjak lebih dari 50 persen. Dari hasil survei itu pula, papar Rico, ada 65 persen publik yang belum mau memilih Jokowi.

Menurutnya, angka tersebut cukup besar dan harus diwaspadai oleh calon presiden pejawat. Karena itu, sebetulnya pertarungan di bursa capres 2019 belum berakhir karena masih ada kemungkinan munculnya calon-calon yang baru.

Rico mengungkapkan, Jokowi harus membuktikan keberhasilan kinerjanya dalam menyelesaikan kesenjangan ekonomi agar elektabilitasnya meningkat. Jokowi tidak perlu sampai menggandeng cawapres dari basis Islam untuk menaikkan elektabilitas.

Menurutnya, elektabilitas Jokowi akan melonjak jika masyarakat merasa sejahtera seiring adanya kebijakan yang menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi. Sebenarnya tidak harus cawapres dari basis Islam. Tapi ini masalah kebijakannya.

"Kalau kebijakan ekonominya bisa dibenahi, kemudian tema keberpihakan terhadap pemilih ini juga dibenahi, maka Jokowi bisa pilih enggak peduli siapapun cawapresnya. Jadi enggak harus dari partai Islam menurut saya," kata dia.

Rico mengungkapkan, yang terpenting yaitu kebijakan yang mampu menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Faktor elektabilitas Jokowi menurun karena dipengaruhi 37,9 persen pemilih yang menilainya tidak mampu mengatasi masalah perekonomian bangsa.

Dalam survei tersebut, responden juga ditanyakan soal hal apa yang paling meresahkan kehidupan saat ini. Persentase paling tinggi, yakni 15,6 persen pemilih menganggap kesenjangan ekonomi masih menjadi masalah yang paling meresahkan.

Kemudian di bawahnya, yaitu 13,1 persen pemilih menilai harga kebutuhan pokok yang tinggi menjadi persoalan paling mencemaskan. Jokowi juga harus berupaya merebut hati para pemilih kelas menengah ke atas karena mereka melek informasi dan menginginkan kinerja yang riil.

"Jadi hal-hal begini tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara simbolik, enggak bisa. Harus riil, substantif, kalau bisa diselesaikan, maka pasti suaranya naik," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement