Kamis 22 Feb 2018 18:18 WIB

Sikap Pemerintah Atas UU MD3 Dinilai Bagian dari Pencitraan

Presiden Jokowi kemungkinan tidak akan menandatangani UU MD3.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Riza Patria mengaku heran atas ketidakkonsistenan sikap pemerintah terhadap revisi Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Hal ini, karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang enggan menandatani UU MD3 yang telah disetujui DPR dan pemerintah.

Menurut Riza, pemerintah ikut hadir dalam pembahasan revisi UU MD3 di DPR. Dalam pembahasan hingga persetujuan revisi UU MD3, pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.

"Ini lucu jadinya, ini menterinya pemerintah apa bukan sebetulnya, kan itu jadi pertanyaan kita semua. Itu kan pembahasan dengan menteri. Semua pasal semua kalimat semua kata semua titik, koma, huruf, itu disusun bersama antar DPR bersama pemerintah, nggak ada itu disusun sendiri oleh DPR," ujar Riza saat dihubungi pada Kamis (22/2).

Menurutnya, jika pemerintah tidak setuju terhadap norma yang ada di revisi UU MD3, semestinya diungkapkan saat pembahasan, bukan setelah paripurna DPR persetujuan revisi UU MD3. Sebab, jika keberatan diungkapkan setelah disetujui DPR dan pemerintah justru menjadi pertanyaan antara hubungan internal pemerintahan.

Ia justru menengarai hal ini bagian menjaga citra pemerintah terkait poin kontroversial di  revisi UU MD3. "Justru itu pertanyaan kita. Kenapa selalu begitu Pak Jokowi. Selalu pencitraan. Harusnya pemerintah itu kalau buat UU ya mereka di internal selesaikan," ujar Riza.

Wakil Ketua Komisi II DPR itu menilai, pemerintah sebaiknya terlebih dahulu melakukan sosialisasi maupun jajak pendapat kepada masyarakat setuju atau tidak terkait poin poin tertentu. Baru kemudian memberi sikapnya dalam pembahasan UU.

"Jadi harusnya pemerintah, menterinya itu lapor sama presiden gitu lho. Selesaikan dulu di rapat terbatas di rapat kabinet, selesaikan ini. Tiap UU kan selalu melalui Prolegnas. Nah dari situ dibahas di internal pemerintah lalu disampaikan satu demi satu pasalnya. Di situ lah Presiden," ujarnya.

photo
Pasal kontroversi revisi UU MD3

Riza menambahkan, yang terjadi saat ini justru menimbulkan pertanyaan apakah selama ini menteri kabinet melaporkan kepada Presiden atau tidak. "Setelah ada respons dari masyarakat baru bereaksi pemerintah, Presiden, nah ini kan nggak bener. Berarti presidennya nggak ngerti dong waktu disampaikan oleh menterinya atau menterinya yang tidak menjelaskan itu kepada Presiden," ujar Riza.

Sebelumnya, Presiden Jokowi disebut tidak akan menandatangani revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah disepakati rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018 lalu. Seperti diketahui, ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang dinilai kontroversial.

"Jadi Presiden cukup kaget juga, makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan mendandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly, Selasa (20/2).

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement