REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Muncul kembali, kasus penganiayaan terhadap seorang anak oleh ibunya sendiri di Garut beberapa waktu belakangan. Psikolog Reza Indragiri mengingat kasus lalu yang sama oleh Baby J yang disiksa oleh ibu kandungnya sendiri tahun lalu.
Dugaan semula, pelaku penganiayaan Baby J akan dihukum berat. Nyatanya, hukuman kurang dari satu tahun. Padahal, kata UU, pelaku yang merupakan orang dekat korban dikenai pemberatan hukuman. Bayi itu bahkan nantinya akan begitu saja kembali diasuh oleh si penganiaya alias ibunya.
"Ini merisaukan, sebab di dalam lapas sangat mungkin si pelaku tidak diberikan pengayaan parenting skills. Potensinya untuk kembali melakukan kekerasan, terutama terhadap anak kandungnya, juga hampir bisa dipastikan tidak di-assess," ujar Reza dalam siaran persnya, Rabu (21/2).
Agar anak Garut korban penyiksaan oleh ibu kandung tidak mengalami nasib serupa, Reza menyarankan untuk sang anak dipisah dari ibunya sebagai upaya perlindungan. Selain itu, kuasa asuh ibu semestinya dicabut dan ibu tersebut harus mendapat hukuman pasal kekerasan serta diberlakukan pemveratan sanksi.
Betapa progresifnya jika putusan hakim yang menyidang pelaku penyiksaan anak di Garut nantinya bisa berisi muatan pidana dan perdata. Reza mengatakan, pencabutan kuasa asuh, sebagai tindakan keperdataan, kuat dugaan belum pernah diputuskan hakim dalam perkara pidana di Indonesia.
Padahal itu yang paling dibutuhkan untuk menyelamatkan anak selaku korban agar tetap hidup. Bahkan lebih penting daripada 'sekedar' hukuman pidana yang berfokus pada pelaku.
"Maka akan semakin baik jika pencabutan kuasa asuh juga diposisikan sebagai pemberatan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Sebagaimana kebiri kimiawi yang diperuntukkan khusus bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak," ungkapnya. Untuk itu, ia juga berharap perlu revisi atas UU Perlindungan Anak dan (opsional) UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.