REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir besar yang menerjang Jakarta pada awal Februari lalu masih menyisakan duka di warga bantaran kali. Penelusuran Republika.co.id bersama tim survei pascabanjir Yayasan Tjondet kita, belasan rumah yang di berada daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung sekitar Condet dan Pejaten mengalami kerusakan dari tingkat ringan hingga berat.
Ketua Yayasan Tjondet Kita, Ahmad Maulana menjelaskan, ada 17 rumah yang rusak dari daerah Balai Rakyat hingga Eretan 2. Dari jumlah tersebut, ada empat rumah yang mengalami rusak berat. “Di Pejaten ada yang rumahnya hilang,” ujar Maulana kepada Republika.co.id saat menyusuri Sungai Ciliwung, Sabtu (17/2).
Pantauan Republika.co.id, rumah-rumah di bantaran sungai di sekitar Balai Rakyat pun mengalami rusak parah. Ada salah satu rumah yang tinggal fondasi. Sementara itu, dapur sebuah rumah lainnya di daerah Rawa Elok hilang akibat terbawa banjir.
Ahmad Maulana yang akrab disapa Lantur ini menjelaskan, kebanyakan penghuni rumah mengungsi meski masih ada yang memaksakan diri untuk tinggal di rumah tersebut. Penghuni sebuah rumah yang rusak di kawasan Rawa Elok, Balekambang, Jakarta, Safrudin (70 tahun) masih tampak memperbaiki rumahnya. Dia menambal atapnya dengan asbes yang sempat bolong akibat banjir. Rumah seluas 30 meter persegi itu memang terletak persis di bibir kali.
Rumah yang rusak akibat banjir di sekitar aliran sungai (DAS) Ciliwung sekitar Condet dan Pejaten, Jakarta, Sabtu (17/2). (Republika/Achmad Syalaby Ichsan)
Meski demikian, Safrudin mengungkapkan, rumahnya baru mengalami rusak parah dua kali yakni pada banjir 2006 dan banjir 2018 lalu. “Saya tetap pengen tidur di rumah sambil sedikit-sedikit benerin,”ujar dia.
Safrudin yang tinggal berdua dengan istrinya, Jawiyah, mengaku sudah tinggal di rumah itu sejak tahun 90-an. Dia membeli rumah tersebut saat hijrah ke Jakarta.
Rumah itu pun, ujar dia, sudah memiliki legalitas yang sah. Dia berharap ada perhatian dari pemerintah terhadap para pemilik rumah yang terdampak korban banjir Jakarta.
Akibat betonisasi
Lantur menjelaskan, banjir tahun ini memiliki dampak lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Buktinya, ujar Lantur, jumlah rumah yang rusak akibat banjir jauh lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Dia memprediksi penyebabnya antara lain akibat debet dan laju air yang meninggi.
Menurut dia, proses normalisasi sungai membuat pepohonan sudah tidak ada di bantaran kali. Turab yang dibangun sepanjang 19 kilometer pada jaman pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, disinyalir membuat pohon di bantaran kali yang berfungsi untuk menyerap air sudah tidak ada. “Karena itu, kami mendukung program Pak Anies (Baswedan) untuk naturalisasi, tanpa betonisasi,”ujar dia.
Rumah yang rusak akibat banjir di sekitar aliran sungai (DAS) Ciliwung sekitar Condet dan Pejaten, Jakarta, Sabtu (17/2). (Republika/Achmad Syalaby Ichsan)
Aktivis perempuan Neno Warisman yang ikut menelusuri Sungai Ciliwung mengaku sangat prihatin terhadap kondisi sungai pascabanjir akibat betonisasi. Dia menyayangkan, pemerintahan sebelumnya menyediakan solusi instan dengan pembangunan beton di sepanjang bantaran sungai untuk menjawab persoalan banjir.
Dia pun mendorong Gubernur DKI Jakarta untuk merealisasikan naturalisasi Ciliwung. “Naturalisasi artinya tidak pukul rata. Ada peluang pohon-pohon dibiarkan hidup karena beton menghilangkan tanaman pinggir sungai secara besar-besaran,” ujar dia.
Pelestarian pepohonan di bantaran kali, ujar dia, justru membuat penyerapan air semakin kuat dan memberi harapan penataan sungai sebagai destinasi wisata air di Jakarta pada masa depan. Terlebih, ujar dia, Condet merupakan daerah yang sudah dikukuhkan dengan beberapa beleid sebagai daerah pengembangan lahan buah.