Sabtu 17 Feb 2018 04:25 WIB

Pekerjaan Seumur Hidup Umat Beragama

Sejumlah tokoh agama diserang

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Esthi Maharani *

 

Tahun 2018 baru berjalan kurang dari dua bulan. Tetapi, konflik dan kekerasan yang berlatar agama muncul di berbagai daerah. Dari catatan Republika, serangan pertama terjadi pada 27 Januari 2018 dan menimpa Pengasuh Pondok Pesantren al-Hiadayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basyri.

 

Serangan kedua terjadi pada 1 Februari 2018 dengan korban Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis). Prawoto meninggal dunia oleh serangan yang dilakukan oknum tetangga yang diduga alami gangguan kejiwaan.

 

Kemudian ada serangan terhadap seorang santri dari Pesantren Al-Futuhat Garut oleh enam orang tak dikenal. Ada juga seorang pria yang bermasalah dengan kejiwaannya bersembunyi di atas Masjid At Tawakkal Kota Bandung mengacung-acungkan pisau.

 

Terakhir, pada Ahad (11/2), pendeta dan jemaat Gereja Santa Lidwina, Kabupaten Sleman, DIY, diserang. Empat jemaat luka-luka dan pendeta yang memimpin ibadah pun terluka akibat serangan menggunakan pedang.

 

Pada hari yang sama, seorang biksu bernama Mulyanto Nurhalim. di Legok Tangerang, Banten dituduh menyalahgunakan tempat tinggal dengan menggelar bakti sosial.

 

Kondisi ini tentu saja mengusik kerukunan umat beragama yang dibangun dengan susah payah. Padahal, sejumlah tokoh agama berupaya dengan sangat keras untuk menyuarakan toleransi dan kerukunan umat beragama.

 

Pada akhir Oktober tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengangkat Prof Din Syamsuddin sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban.

 

Sebagai utusan khusus, Din bertugas mengembangkan dialog dan kerja sama antarperadaban dengan mempromosikan kebudayaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu, mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini juga bertugas mempromosikan kerukunan antarumat beragama sesuai dengan Pancasila, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Presiden pun berharap kerukunan agama dapat dibangun di Tanah Air.

 

Din pun melakukan berbagai upaya seperti safari dan bersilaturahim ke berbagai pemuka agama. Misalnya saja pada November, ia bersilaturahim dengan para biksu dan komunitas katholik. Ia juga mendatangi komunitas Hindu di Bali dan menitipkan pesan kerukunan umat beragamadi sana.

 

Puncaknya adalah ketika ia memprakarsai pertemuan dengan lebih dari 400 tokoh agama. Musyawarah besar (Mubes) untuk kerukunan bangsa di Grand Sahid Jaya, Jakarta pada 8-10 Februari 2018. Ada tujuh rumusan yang dihasilkan dari Mubes tersebut.

 

Pertama terkait dengan pandangan dan sikap umat beragama tentang NKRI yang berlandaskan pancasila. Rumusan kedua, terkait dengan pandangan dan sikap umat beragama tentang Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.

 

Rumusan ketiga, yaitu terkait dengan pandangan dan sikap umat beragama tentang pemerintah yang sah hasil pemilu demokratis berdasarkan konstitusi. Rumusan eempat, terkait dengan pandangan dan sikap umat beragama tentang etika kerukunan antar umat beragama yang menghasilkan enam poin.

 

Rumusan kelima, yaitu terkait dengan pandangan dan sikap umat beragama tentang penyaiaran agama dqn pendirian rumah ibadat. Rumusan keenam, yaitu tentang etika intra umat beragama. Terakhir, tentang faktor-faktor non-agama yang mengganggu kerukunan umat beragama.

 

Mubes kerukunan umat beragama berlanjut dengan adanya acara perayaan World Interfaith Harmony Week. Perayaan ini merupakan resolusi PBB untuk kerukuan umat beragama di seluruh dunia. Perayaan ini merupakan usulan Raja Abdullah II dan Pangeran Ghazi bin Muhammad dari Yordania pada tahun 2010 yang bertujuan untuk mempromosikan keharmonisan antar umat beragama di seluruh dunia.

 

Hal yang ironis ketika sejumlah elite tokoh agama berkumpul menyatukan visi dan misi tetapi justru peristiwa yang merusak kerukunan umat beragama dipertontonkan di depan mata.

 

Indonesia yang merupakan negara pluralisme dengan keberagaman agama, etnis, ras, dan bahasa memang memiliki tantangan yang tak mudah. Untuk mewujudkan kerukunan dari banyaknya perbedaan pun tak mungkin hanya dilakukan sekali jadi atau dengan cara yang ajaib.

 

Memelihara kerukunan umat beragama bisa jadi pekerjaan seumur hidup yang harus dilakuan dengan teliti dan hati-hati. Belum lagi diperlukan kesabaran untuk bisa menyamakan persepsi tentang agama dan negara.

 

Yang perlu disadari sejak awal dengan kondisi Indonesia yang pluralis adalah segala bentuk konflik yang ditumbulkan karena kondisi tersebut tidak bisa ditangani secara monoistik atau menurut salah satu pihak. Di negara pluralis, adanya konflik adalah hal yang diperlukan. Dengan catatan, konflik tersebut bisa dimanage dengan baik.

 

Cara paling sederhana adalah dialog dengan pihak-pihak yang terlibat. Konflik yang bisa dimanage dengan baik pada akhirnya bisa mendewasakan demokrasi di Indonesia. Tentu kita tak ingin terus menerus berkonflik kan?

 

Saya sendiri berpendapat, kerukunan di Indonesia bukan hal yang utopis asal masing-masing pihak mau mendengar, mau berkontribusi, dan mau membuang ego untuk sesuatu yang lebih besar. Yang saya harapkan adalah elit dan tokoh agama berperan lebih aktif daripada sebelumnya. Jangan sampai acara-acara yang berbau keagamaan atau upaya menciptakan kerukunan hanya bersifat seremonial tanpa dibarengi dengan tindakan konkret di lapangan.

 

Elit dan tokoh agama adalah jembatan penghubung antara negara dan umat beragama. Ditingkat elite tokoh agama, perbedaan yang terjadi selalu bisa dinegosiasikan dan bergerak sangat dinamis. Tetapi, harus diperhatikan pula bahwa ditingkat umat perbedaan yang ada cenderung ideologis sehingga tak mengherankan jika penyelesaiannya tak pernah sederhana dan jauh lebih kompleks.

 

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement