Rabu 14 Feb 2018 16:33 WIB

Baru Disahkan DPR, UU MD3 Langsung Digugat ke MK

Pemohon gugatan merupakan Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK).

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kiri) menyerahkan berkas pembahasan revisi UU MD3 kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah ditetapkan sebagai undang undang, Senin (12/2), Undang Undang (UU) MD3 tentang MPR, DPR dan DPD (MD3) akhirnya digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon gugatan merupakan Forum Kajian Hukum & Konstitusi (FKHK).

Kuasa Hukum Pemohon dari Law Firm Sidin Constitution, Irman Putra Sidin mengungkapkan, gugatan UU MD3 telah didaftarkan ke MK Rabu (14/2). Dan telah diterima di Kepaniteraaan MK dengan Nomor Tanda Terima Pendaftaran 1756/PAN.MK/II/2018.

"Kami telah melakukan Pendaftaran Permohonan Pengujian Undang-Undang MD3 Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1)," ungkap Irman dalam keterangannya kepada Republika, Rabu.

Materi gugatan dari UU MD3, ungkap Irman, sangat substansial, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, tentang pemanggilan paksa terhadap warga masyarakat yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai perwakilan rakyat.

"Instrumen pemanggilan paksa merupakan instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan, sehingga tidak relevan kemudian untuk mengontrol perilaku warga masyarakat dengan menjadikan warga masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa," papar Irman.

Gugatan lain yang bertentangan dengan UUD 45 tentang hak DPR mengambil langkah hukum terhadap warga negara. Aturan ini pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedualatan rakyat, prinsip perwakilan melalui pemilu, sebagaimana diatur konstitusi serta bertentangan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR itu sendiri.

"Fungsi DPR bukanlah untuk melakukan langkah hukum, tetapi fungsinya hanya membentuk sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum termasuk anggaran," tegas Irman.

Jika hal tersebut dilakukan, menurut dia, maka akan merendahkan marwah dan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Karena, level DPR bukanlah menyasar orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang secara kedudukan berada pada posisi yang lemah.

Apalagi, sasaran langkah hukum ini orang perorangan yang di dalamnya terdapat warga negara yang tua renta dan miskin. Kemudian, mereka bisa menjadi subjek digugat perdata bahkan pidana oleh lembaga sebesar DPR. "Level tarung DPR adalah pelaku dan pemegang kekuasaan," ungkapnya.

Dan terakhir adalah soal pasal tentang Hak Imunitas Anggota DPR. Pada prinsipnya ini sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum, yang menjamin persamaan di muka hukum. Pasal ini dinilai bertentangan dengan prinsip hak imunitas DPR itu sendiri yang dijamin oleh Konstitusi (pasal 20A UUD 1945).

Dan dari kesemua pasal yang digugat di antaranya merugikan hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Selain itu juga merugikan hak pemajuan diri untuk memperjuangkan kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat,hak untuk berkomunikasi, dan kemerdekaan pikiran, yang dengan demikian telah bertentangan dengan UUD 1945. "Oleh karenanya kami bermohon kepada MK dan dapat segera memutus permohonan sesegera mungkin atau setidak-tidaknya Mahkamah dapat memberikan putusan provisi (menerima permohonan provisi)."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement