Selasa 13 Feb 2018 19:48 WIB

Hidup-hidupi Lagi Rumah Gadang

Kekayaan arsitektur rumah gadang membuat biaya perawatannya tak murah.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Satya Festyiani
Warga berjalan di kawasan seribu rumah gadang, Solok Selatan, Suamtera Barat, Sabtu  (10/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Warga berjalan di kawasan seribu rumah gadang, Solok Selatan, Suamtera Barat, Sabtu (10/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Pesan ibunda masih lekat di ingatan Yarnelly (68 tahun) agar ia pulang ke rumah. Kegamangan untuk menetap di kampung halamannya di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat mulai hinggap setelah sang ibu wafat. Yarnelly bisa dibilang terlanjur menjadi 'orang Jakarta' setelah lebih dari 30 tahun menetap di ibu kota. Nelly, panggilan karibnya, adalah pensiunan guru di TK-SD-SMP 17 Agustus di Tebet, Jakarta Selatan. Ia dipaksa memilih meninggalkan kenyamanan hidup di kota besar atau kembali pulang untuk menjaga tegaknya rumah gadang warisan leluhur.

 

Tahun 2014 lalu, nasihat ibu untuk pulang kembali ke kampung halaman akhirnya ia turuti. Nelly memilih sejenak pulang ke rumah masa kecilnya di nagari nan indah yang dijuluki 'Saribu Rumah Gadang', hingga kini. Ia sadar, siapa lagi kalau bukan dirinya yang rela mengurus rumah yang usianya sudah lebih dari 150 tahun itu. "Ibu berpesan kepada saya, tak ada lagi warisan yang berharga selain rumah ini," ujar Nelly menirukan pesan ibunya. Nelly, sebegai generasi keempat Datuak Rajo Mulia, memilih pulang merawat rumahnya.

 

Tampaknya keputusannya tepat. Menurut Nelly, tak sedikit kondisi rumah gadang di Koto Baru yang mulai kalah melawan lapuknya kayu. Kalau bukan atapnya yang sudah jebol, ya tiang kayunya yang kadung keropos. Untuk membangun kembali rumah gadang yang rusak berat saja, diperlukan biaya lebih dari Rp 1 miliar. Kepulangan Nelly bisa dilihat sebagai simbol kembalinya kepedulian pewaris rumah gadang untuk merawat rumah beratap bagonjong itu. Tapi ia mengaku, keputusan untuk pulang dan menetap di Nagari Saribu Rumah Gadang sebetulnya tak mudah. Perwakilan Dinas Pariwisata Kabupaten Solok Selatan sampai rela sowan kepadanya untuk menawarkan bantuan.

 

Keengganan masyarakat untuk merenovasi rumah gadang sebetulnya bukan tanpa alasan. Rumah-rumah gadang di Nagari Koto Baru, sama sepertu rumah yang kini ditinggali Nelly, masih mempertahankan bentuk aslinya lengkap dengan ukiran kayu khas Minangkabau. Kekayaan arsitektur rumah gadang yang usianya rata-rata di atas 100 tahun itu yang kemudian membuat biaya perawatannya tak murah. Masih syukur kalau selama beratus-ratus tahun ini, tanpa putus ada anggota keluarga yang menempati. Yang apes, kalau rumah gadang sempat ditinggalkan dan terbengkalai. Kalau kondisinya begitu, lanjut Nelly, biaya perbaikannya semakin melambung.

 

Bersama pemerintah setempat, Nelly akhirnya mempelopori didirikannya homestay atau rumah singgah yang bisa disewakan. Rumah gadang miliknya yang didirikan sejak medio 1800-an, menjadi yang pertama menawarkan pengalaman menarik bagi wisatawan untuk menginap di dalam bangunan tradisional Minangkabau. Bantuan dari pemerintah pun pelan berdatangan, seiring dengan komitmen Nelly menghidupkan ekonomi masyarakat Nagari Saribu Rumah Gadang. Pemkab Solok Selatan misalnya, menyumbang tiga unit kasur, tempat sampah, handuk, selimut, dan perlengkapan penginapan lainnya kepada Nelly. Sejak tahun 2015, turis-turis baik dari luar atau dalam negeri mulai berdatangan ke rumahnya untuk merasakan sensasi tinggal di rumah gadang.

 

Usaha membangun potensi wisata di Nagari Saribu Rumah Gadang pun berlanjut. Nelly pun didapuk pemerintah setempat untuk berperan sebagai penyuluh masyarakat yang ingin mengikuti jejaknya membuka homestay. Hingga saat ini, ujarnya, sudah ada sekitar 10 rumah yang membuka pintunya untuk wisatawan. Nelly terus berupaya memberi pemahaman kepada tetangganya mengenai //hospitality// atau keramah-tamahan dalam menyambut tamu.

 

Usaha Nelly untuk membangun masyarakat yang sadar wisata berbuah manis. Kini, jumlah tamu yang menginap di Nagari Koto Baru bervariasi dari 20 hingga 100 orang lebih per harinya. Biasanya, lanjut Nelly, tamu yang menginap merupakan rombongan dari perusahaan di Jakarta. Nelly ingin pengembangan wisata di Nagari Saribu Rumah Gadang mampu menarik lagi keluarga yang terlanjur meninggalkan rumah gadang di kampungnya. Berdasarkan data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, terdapat 125 rumah gadang yang dianggap layak ditetapkan sebagai benda cagar budaya di Nagari Koto Baru. Dari angka tersebut, 40 rumah gadang di antaranya tergolong rusak berat dan memerlukan perbaikan segera.

 

"Dengan dibuat homestay, ekonomi masyarakat meningkat, dan kecintaan warga sini terhadap rumah gadangnya juga meningkat. Akhirnya, rumah gadang tetap dirawat," ujar Nelly.

 

Sementara itu, pakar arsitektur dari Universitas Bung Hatta, Jonny Wongso, menyebutkan bahwa upaya perbaikan rumah gadang harus terintegrasi antara pemerintah dengan masyaratakat khususnya pemilik rumah. Sejumlah hambatan perbaikan rumah gadang selama ini, lanjutnya, biaya mahal yang tak bisa dipenuhi oleh pemilik rumah dan merosotnya tukang kayu yang memiliki kemampuan dalam membangun rumah gadang. Belum lagi, seniman ukir kayu khas Minangkabau yang juga semakin langka keberadaannya.

 

"Nagari Saribu Rumah Gadang di Koto Baru memiliki seluruh tipe rumah gadang yang ada di Sumatra Barat. Revitalisasi merupakan solusi untuk melestarikan arsitektur Minangkabau ini," ujar Jonny.

 

Menuju Revitalisasi

 

Pemerintah pusat akhirnya mendengar kegelisahan pemerhati arsitektur Minangkabau tentang ancaman makin banyaknya rumah gadang yang lapuk dimakan usia. Presiden Jokowi, pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Kota Padang akhir pekan ini menyatakan komitmennya untuk melakukan revitalisasi atas kawasan Nagari Saribu Rumah Gadang. Bahkan Presiden mengutus Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk merampungkan proyek revitalisasi pada tahun 2018 ini.

 

Tapi ada kisah unik di balik keputusan Jokowi untuk menjalankan program revitalisasi rumah gadang. Semuanya bermula pada tahun 1983, saat Jokowi muda dan kawan-kawannya menempuh perjalanan tiga hari dengan bus menuju Solok Selatan. Saat itu ia hendak mendaki gunung api tertinggi kedua di Indonesia, yakni Gunung Kerinci. Jokowi mengaku tercuri hatinya saat melihat keindahan rumah-rumah tradisional di Solok Selatan, termasuk yang ada di Nagari Koto Baru, tempat Saribu Rumah Gadang berada.

 

"Sebagai bagian dari merawatan kegaguman itu, saya canangkan revitalisasi total kawasan Saribu Rumah Gadang di Solok Selatan. Program ini sekaligus menjadi prototype untuk rumah gadang di Sumbar dan seluruh Tanah Air," kata Presiden Jokowi.

 

Kementerian PUPR menyebutkan, program revitalisasi Nagari Saribu Rumah Gadang nantinya akan menggunakan DIPA Direktorat Jenderal Cipta Karya. Sebagai kawasan cagar budaya dan tujuan wisata, Kementerian PUPR akan melakukan renovasi bangunan rumah gadang, penataan lanskap kawasan, dan pembangunan landmark utama kawasan serta fasilitas untuk wisatawan. Bangunan yang akan dibangun baru nantinya seperti gerbang penyambut, panggung, ruang terbuka hijau, toilet, dan area wisata tepi sungai dengan empat menara yang konsepnya diambil dari kisah Empat Raja (Ampek Rajo). Pemerintah berencana mengadakan sayembara untuk desain keempat menara tersebut. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement