Ahad 11 Feb 2018 14:05 WIB

RKUHP Dinilai Lebih Berasa 'Kolonialisme'

RKUHP dinilai menghambat proses reformasi peradilan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sebagai produk yang justru lebih kolonialistik daripada KUHP yang selama ini berlaku. Padahal, semangat dekolonialisasi menjadi alasan yang kuat penyusunan draft RKUHP tersebut.

Sayangnya, Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Erasmus Napitupulu mengatakan, hampir semua rumusan KUHP lama masih ada dalam draft RKUHP yang baru.

"Banyak peraturan tambahan yang disinyalir berdampak negatif dalam pemenuhan dan perlindungan HAM dan mengancam kebebasan sipil warga negara," kata dia di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (11/2).

RKUHP, dia mengatakan, berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial. RKUHP dinilainya menghambat proses reformasi peradilan. Alasannya, karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi. Hal ini dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan.

"RKUHP memuat 1.251 perbuatan pidana, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas," ungkap dia.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman, pun mengatakan, lebih dari 90 persen mengandung ancaman pidana LP akan penuh dengan orang yang dihukum. "Akan memberikan rasa takut pada warga negara. Ancaman pada wn lebih besar dari pada perlindungan pada warga negara itu sendiri," ucap dia.

Bahkan, mengapa RKUHP ini dinilai lebih kolonialistik, menurut Wahyu terdapat banyak ancaman pidana yang lebih tinggi dari KUHP yang dibuat Belanda itu sendiri. Contohnya, penghinaan fitnah yang awalnya empat tahun menjadi lima tahun. Penghinaan lisan dari sembilan bulan menjadi satu tahun. "Ada pidana minimum juga, kalau kita compare agak lucu, katanya mau dekolonialisasi," kata dia.

Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR agar menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial itu. Untuk diketahui, rapat paripurna Komisi III DPR RI pada 14 Februari 2018 mendatang akan membahas nasib draft RKUHP. Rapat tersebut diduga akan menggodok kembali RKUHP tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement