REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Suara getaran tanah tak asing buat telinga Ahmad (40 tahun), warga Kampung Cisuren, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor. Meski begitu, getaran pada Senin (5/2) sekitar pukul 10.00 WIB terdengar berbeda. "Lebih keras, kayak ada di samping," katanya ketika ditemui Republika.co.id, Kamis (8/2).
Sontak, Ahmad bersama sang istri, Dian (38 tahun), segera keluar kamar. Ia melihat tanah yang berjarak 100 meter dari rumahnya bergerak menuju posisi lebih rendah. Perlahan tapi pasti, kerikil ikut merosot, mengikuti gerakan tanah.
Gambaran itu masih hangat melekat dalam ingatan Ahmad yang sehari-hari bekerja sebagai tukang tambal ban. Meski hanya berdurasi tak sampai lima menit, ia tak bisa melupakan peristiwa tersebut.
Ahmad mengatakan, getaran tanah sebenarnya sudah menjadi hal wajar baginya dan masyarakat setempat. "Tapi, itu berasa banget memang guncangan, saya kira gempa," kata bapak tiga anak ini.
Saat kejadian, Ahmad tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya berdiam di rumah petaknya bersama Dian sembari menunggu tanah selesai bergerak. Setelah itu, ia segera melihat dampak dari longsor yang untungnya tidak menimbulkan korban jiwa.
Dibandingkan rumah warga lain, hunian Ahmad memang paling dekat dengan lokasi pergerakan tanah. Bangunannya sudah terbuat dari tembok dengan luasan kurang dari 40 meter persegi. Di belakangnya, bidang tanah menyerupai tebing berdiri miring.
Bagi masyarakat awam, bangunan Ahmad terbilang mengerikan. Tidak menutup kemungkinan tanah miring itu bisa menghancurkan rumah, sekalipun hanya ada gempa kecil. "Sampai saat ini, nggak kenapa-kenapa," ujar dia.
Ahmad tidak menampik, rasa takut kerap menghantuinya dan keluarga. Terlebih, ketika kerikil dan material tanah memenuhi lantai teras rumahnya setelah longsor Senin kemarin. Meleset sedikit saja, rumah Ahmad bisa menjadi tinggal kenangan.
Namun, ia belum menemukan tempat lain yang lebih layak dan cocok dengan rezekinya sehari-hari. "Kami memilih bertahan di sini saja dulu," kata dia dengan nada pasrah.
Kini, Ahmad dan puluhan warga setempat masih berdiam di rumah. Akses mereka ke jalan utama masih bisa dilalui dengan mudah menggunakan sepeda motor. Tapi, dengan adanya peringatan longsor susulan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, keadaan mereka masih terancam.
Kondisi serupa juga dialami Dina (32 tahun), penjaga warung di kawasan Riung Gunung, Desa Tugu Selatan, Cisarua. Menggunakan bambu dan tembok seadanya, bangunan warung yang juga menjadi rumahnya itu berdiri di antara tanah-tanah rentan.
Warung Dina berada sekitar 50 meter dari lokasi longsor yang sampai menutup akses utama Jalur Puncak, Senin (5/2) lalu. Imbauan untuk segera menutup warung dan mengungsi ke tempat lebih layak sudah sering datang ke telinganya, tapi ia memiliki alasan tersendiri untuk menolak. "Saya masih harus cari rezeki," ucapnya saat ditemui, Selasa (6/2).
Saat terjadi longsor, Dina melihat dengan mata sendiri detik demi detik robohnya tanah ke jalanan. Aspal yang sebelumnya terlihat kokoh pun ikut ambruk hanya dalam hitungan detik. Tapi, nyatanya, pemandangan itu belum cukup kuat untuk menggoyahkan keinginan Dina tetap tinggal di situ.
Kalaupun pindah, Dina berharap, pemerintah dan pihak terkait bisa membantunya mencari tempat yang lebih aman, tapi tetap mendatangkan rezeki. "Kalau nggak untung mah akan sama saja," ucap ibu dari tiga anak ini sembari menyiapkan kopi panas untuk petugas evakuasi.
Perekayasa Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Imam Santosa mengatakan, kawasan Cisarua memiliki 22 titik longsor pada Senin (5/2). Dua titik kejadian di atas di antaranya.
Rumah salah satu warga Kota Malang longsor pada Jumat (9/2) pagi.
Kejadian paling fatal terjadi di Cijeruk yang menewaskan lima warga dan merusak fondasi rel kereta Bogor-Sukabumi. Dari hasil kajian ini, Imam memberikan rekomendasi kepada pihak pemerintah pusat dan kabupaten untuk segera melakukan tindakan, seperti merelokasi warga terancam. Sebab, diduga, longsor susulan masih akan terjadi sampai akhir Maret, ketika curah hujan sudah menurun.
Soal Cisarua yang menjadi lokasi utama sejumlah kejadian longsor agaknya bukan kebetulan semata. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, sepanjang 2017, Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, menjadi dua area yang paling banyak kehilangan kawasan hutan. Setidaknya 1.000 hektare lahan yang seharusnya menjadi hutan lindung di dua daerah tersebut kini sudah hilang.
Pengampanye FWI Linda Rosalina menjelaskan, dari data yang dimiliki, seharusnya Desa Tugu Selatan dan Utara mempunyai 2.000 hektare kawasan hutan lindung. "Berarti 50 persen sudah hilang, untuk perkebunan ataupun permukiman," ucapnya kepada Republika.co.id.
Dua daerah itu merupakan sebagian contoh area yang kehilangan kawasan lindung.Linda menjelaskan, sekitar 5.700 hektare hutan lindung di kawasan Puncak telah hilang pada medio 2000 sampai 2016, terutama di Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Apabila alih fungsi terus dilakukan, longsor dan banjir, serta kekeringan mengancam.