Sabtu 10 Feb 2018 04:33 WIB

Pemungutan Zakat ASN, Ditolak atau Diterima?

Arif Supriyono, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Arif Supriyono, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Rencana Kementerian Agama untuk memungut zakat 2,5 persen bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim mengundang polemik. Ada pihak yang memberikan dukungan atas rencana itu, tetapi tidka sedikit pula yang menolaknya.

Zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap umat Islam. Di luar zakat fitrah yang dibayarkan setiap usai menjalankan puasa Ramadhan, ada zakat harta benda (kekayaan) yang juga harus dikeluarkan setiap tahunnya. Meski sebuah kewajiban, ada ketentuan/ syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang mengeluarkan zakat.

Syarat pertama adalah Islam. Artinya, zakat hanya wajib bagi umat Islam. Berikutnya adalah merdeka. Zakat tidak wajib bagi yang tidak merdeka, dalam arti orang itu berstatus budak atau hamba sahaya. Meski demikian, saat ini sangat sulit untuk mencari budak di muka bumi.

Persyaratan lainnya adalah berakal dan akil balig. Orang yang mengalami gangguan akal sehat, tidak termasuk dalam kelompok yang diwajibkan untuk menunaikan zakat. Demikian juga dengan anak-anak yang belum dewasa, tak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat harta-benda. Ini jelas berbeda dengan zakat fitrah, saat sang anak pun wajib mengeluarkan zakat yang bisa dibayarkan oleh orang tuanya.

Kemudian syarat terakhir adalah memenuhi nisab, yakni jumlah harta minimum yang dikenakan zakat. Nisab ini berbeda-beda untuk setiap jenis harta benda.

Ada nisab untuk emas dan uang. Ada pula nisab untuk hasil bumi (pertanian). Juga ada nisab untuk harta berupa hasil tambang (barang galian). Harta karun pun memiliki nisab yang berbeda. Barang hasil dari perdagangan pun tak luput dari nisab. 

Nisab juga berlaku bagi pemillik hewan ternak. Lazimnya selama ini yang dikenakan nisab binatang ternak hanyalah unta, kerbau/sapi, dan kambing/domba. Untuk binatang ternak ayam (apabila jumlahnya ribuan), para ulama juga sudah memiliki pandangan tersendiri.

Kebijakan yang akan dikeluarkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, untuk memungut zakat bagi ASN memang belum dijelaskan secara detail. Apakah besarnya zakat itu didasarkan pada gaji ASN yang bersangkutan, apakah juga termasuk harta benda yang dimiliki ASN tersebut.

Jika dasar pengenaan zakat itu juga meliputi harta benda ASN yang lain, maka perhitungannya akan lebih rumit. Saya yakin, Kemenag memerlukan bantuan banyak pihak untuk bisa menentukan nisab ASN atas dasar kepemilikan seluruh harta bendanya.

Lain soal jika nisab yang dijadikan pedoman Kemenag untuk memungut zakat itu hanya berdasarkan gaji semata. Dengan demikian, akan ada ukuran, ASN dengan gaji minimal berapa yang bisa dikenakan zakat. Ini lebih mudah dijadikan pedoman dan lebih gampang pula untuk menentukan besarannya. Tentu perlu pembahasan serius untuk menetapkan, apakah pungutan zakat itu dilakukan setiap bulan ataukah setahun sekali. Untuk urusan ini, diskusi dengan para ulama akan lebih memberikan kepastian dan bisa menjadi pegangan.

Karena sejatinya zakat itu merupakan kewajiban umat Islam, maka tidak pada tempatnya jika kita serta-merta menolak mentah-mentah gagasan memungut zakat bagi ASN Muslim. Apalagi faktanya di beberapa daerah pengumpulan zakat bagi ASN sudah ada yang berjalan. Di Jakarta, Kabupaten Semarang (Ungaran), dan Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) pun sudah melakukan itu. Beberapa daerah lain juga telah pula menjalankan pungutan zakat ASN untuk karyawan Muslim.

Meski begitu, ada beberapa hal lain yang perlu menjadi pertimbangan. Hendaknya, untuk saat ini, pungutan zakat terhadap ASN itu tidak usah diwajibkan. Hal ini lantaran sebagian ASN sudah ada yang membayar pajak dan sepenuhnya percaya kepada pihak lain yang mengelola zakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement