Rabu 07 Feb 2018 13:38 WIB

Karma Group Batalkan Pesta Mardi Gras di Bali

Acara ini sedianya dimeriahkan bintang tamu sederet DJ dunia.

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Andi Nur Aminah
pesta dan karnaval Mardi Gras
Foto: istimewa
pesta dan karnaval Mardi Gras

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Karma Group membatalkan pesta dan karnaval Mardi Gras bertajuk 'Glorious Rainbow' yang rencananya akan digelar 10 Februari 2018 di Karma Beach, Ungasan, Bali. Acara ini sedianya dimeriahkan bintang tamu sederet DJ dunia, seperti Thomson, Andy Bexter, dan Jo Mills yang harga tiketnya berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per orang.

Perwakilan Public Relation Karma Group, Joseph Ong mengatakan keputusan ini merupakan hasil pertemuan internal manajemen perusahaan. Karma Group juga meminta maaf kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang merasa kurang nyaman dengan rencana ini. "Kami mengetahui isu (LGBT) ini sangat sensitif di Bali, sehingga kami putuskan membatalkannya hari ini," kata Joe kepada Republika.co.id, Rabu (7/2).

Karma Group, Joe mengatakan, awalnya mengira festival ini hanya pesta biasa. Namun, belakangan pihaknya mengetahui citra Mardi Gras diasosiasikan sangat kuat dengan pesta besar kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

"Ini murni kesalahan kami dan kami memutuskan menolaknya supaya tidak menimbulkan pro kontra," ujarnya.

Mardi Gras adalah pesta karnaval dan festival besar yang dirayakan di berbagai negara. Pesta ini belakangan identik dengan parade gay tahunan dan festival komunitas LGBT.

Di Australia, pesta tahunan bernama Sydney Gay and Lesbian Mardi Gras ini menampilkan individu berkostum warna-warni, perkumpulan anggota kelompok masyarakat lokal, dan antarnegara bagian yang menarik banyak wisatawan domestik dan mancanegara. Perayaan ini awalnya muncul 1980-an, ketika penahanan dilakukan terhadap pengunjuk rasa yang pro-hak asasi gay.

Mardi Gras berasal dari bahasa Prancis yang berarti Selasa Gemuk. Perayaan ini dahulunya diisi dengan acara makan besar, terutama makanan berlemak menyambut datangnya musim semi dan harapan akan kesuburan.

Perayaan ini kemudian berkembang ke berbagai negara, mulai dari Belgia, Brasil, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, hingga Amerika Serikat berdasarkan versi masing-masing. Di New Orleans, AS, Mardi Gras bukan sekadar pesta gay bagi kaum homoseksual. Kaum heteroseksual yang juga mengikuti pesta ini mengartikan 'kesuburan' dengan kesuburan reproduksi manusia. Ini membuat Pesta Mardi Gras ala New Orleans dicap sebagai pesta seks dan festival khusus dewasa.

Eksistensi LGBT di Bali sudah cukup lama. Ini tak dimungkiri sebagai konsekuensi dari kemajuan sektor pariwisata di Indonesia. Tidak semua orang bisa menerima konsep hidup LGBT, namun tidak ada pula yang bisa melarang mereka melakukan perjalanan wisata.

Pulau Bali ramah untuk seluruh wisatawan apapun orientasi seksualnya. Mereka tetap disambut baik asalkan mematuhi norma dan aturan yang berlaku.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan LGBT dilarang secara norma agama, tradisi adat, dan budaya Bali. LGBT ini dilarang sebab secara etika dan keyakinan tidak sesuai dengan dharma. "Ini disebut membuat alam cuntaka atau sebel (suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu)," kata Sudiana dihubungi Republika.co.id.

Jika ada praktik-praktik yang berkaitan dengan LGBT di sebuah desa di Bali, kata Sudiana maka desa pekraman atau desa adat harus melakukan upacara prayascita atau penyucian dari segala kesedihan atau juga kekotoran. Ini untuk mengembalikan kesufian dan keseimbangan alam.

"Oleh sebab itu, jika hal ini benar, maka desa adat yang mewilayahi kejadian tersebut wajib melakukan pelarangan agar desanya tidak leteh (kotor)," kata Sudiana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement