Selasa 06 Feb 2018 22:38 WIB

Hanafi: Pembahasan RUU Penyiaran Melebihi Tenggat Waktu

Pembahasan RUU Penyiaran bisa dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus).

Wakil Ketua Komisi 1 DPR RI- Hanafi Rais
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Wakil Ketua Komisi 1 DPR RI- Hanafi Rais

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran di Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah melebihi tenggat waktu. Dengan demikian, pembahasannya bisa dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna menjadi usul inisiatif DPR.

"Kami acuannya Tata Tertib DPR, kalau sudah melebihi tenggat waktunya maka sebenarnya bisa dibawa ke Bamus untuk diputuskan seluruh fraksi, komisi dan Pimpinan DPR. Tinggal 'political will' dari konsensus untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR," kata Hanafi di Jakarta, Selasa (6/2).

Dia menilai masih ada proses alternatif membawa RUU Penyiaran ke Paripurna DPR sehingga tidak hanya menunggu Baleg namun di level Bamus bisa diputuskan menjadi langkah lebih maju. Politikus PAN itu mengatakan Komisi I DPR sudah memberikan tenggat waktu agar Baleg menyelesaikan dahulu di internal namun hingga saat ini masih berproses.

"Kami mengirimkan surat ke pimpinan DPR dan mengusulkan agar pimpinan membuat inisiatif untuk membawa ke rapat paripurna untuk disahlan menjadi UU inisiatif DPR," ujarnya.

Hanafi menegaskan RUU Penyiaran jangan dibelokkan menjadi urusan frekuensi apakah single mux atau multi mux karena tidak mewakili kepentingan publik. Menurut dia, 80 persen RUU Penyiaran tentang konten siaran yang berdampak luas bagi publik. 

Karena itu, jika mau melanjutkan pembicaraannya maka memberikan porsi yang besar untuk publik yaitu soal konten. "Di sana mengatur konten siaran, iklan rokok, perkuat wewenang KPI, keterlibatan masyarakat dalam dewan audiens dan lebih berbobot. Kalau fokus konten maka dampaknya luas sehingga dukungan publik dorong RUU Penyiaran cepat selesai," ujarnya.

Terkait perdebatan mengenai frekuensi siaran, Hanafi menjelaskan, frekuensi adalah sumber daya alam dan amanah konstitusi menegaskan bahwa itu dikuasai negara. Karena itu, menurut dia, jika frekuensi diserahkan pada negara maka pengelolaan penyelenggaraan digital diserahkan kepada lembaga penyiaran publik atau paling tidak lembaga independen yang mewakili negara bukan pemerintah.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengatakan penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran harus melalui mekanisme di Baleg, yaitu terlebih dahulu diputuskan dalam Rapat Pleno pengambilan keputusan. "Saya baca berita pernyataan Pak Agus Hermanto bahwa Bamus putuskan RUU Penyiaran tetap diambil keputusan melalu Paripurna tanpa Pleno Baleg, kami punya tanggung jawab luruskan yang mungkin salah," kata Firman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/2).

Dia mengatakan kalau itu tetap dilanjutkan maka ada dua UU yang ditabrak yaitu UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan RUU dan UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Selain itu, menurut dia juga menabrak Peraturan DPR nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR dan Peraturan DPR nomor 2 tahun 2014 tentang Tata Cara Penyusunan UU. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement