REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) mendesak Ketua MK Arief Hidayat untuk mundir dari Hakim Konstitusi dan Ketua MK. Permintaan tersebut terkait dengan dua kali pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arief.
"Kami sangat percaya, MK memiliki posisi yang sangat strategis, sangat tinggi, dan butuh standar moral yang sangat tinggi oleh para hakimnya. Zero tolerance sebenarnya terhadap pelanggaran etik," ujar Dadang Trisasongko dari Transparency International Indonesia usai melakukan audiensi dengan pihak MK di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (6/2).
Dadang menyebutkan, dorongan tersebut didasari pada Prinsip-prinsip Bangalore yang telah dimaktubkan sebagai Sapta Karsa Hutama. Hal itu dimaktubkan melalui Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
"Sebagaimana diketahui, Arief Hidayat telah dua kali dijatuhi sanksi etik karena terbukti melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi," katanya.
Saat ini, lanjut Dadang, publik sedang dilanda ketidakpercayaan terhadap lembaga MK, terutama setelah dua orang hakimnya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap. Kedua hakim itu adalah Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. "Kondisi ini tidak lebih baik dengan tetap sikap Arief Hidayat yang menolak mundur dengan terhormat dari jabatannya sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK," jelasnya.
Selain Dadang, Ahmad Fanani dari Madrasah Anti Korupsi juga turut hadir dalam kesempatan itu. Fanani menyebutkan, dulu, mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi juga melakukan pelanggaran etik seperti yang Arief lakukan. Arsyad pun diberikan sanksi ringan.
"Tapi Pak Arsyad mengundurkan diri karena sanksi etik itu. Pak Arief melanggar kode etik dua kali. Itu yang membedakan kualitas moral dan etik dari kedua orang itu," ujar Fanani.
Ke depan, Fanani mengungkapkan, Indonesia akan menghadapi Pemilu serentak. Tentu pasti sedikit banyak akan ada sengketa-sengketa Pilkada yang datang ke MK. MK sudah seharusnya dapat dijadikan tempat akhir bagi masyarkat untuk mencari keadilan. "Bahaya kalau publik kehilangan kepercayaannya terhadap," lanjutnya.