REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim perumus Rancangan Undang-undang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU RKUHP) bersama Pemerintah menyepakati rumusan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden masuk dalam RUU RKUHP. Hal ini setelah Timmus dan Pemerintah melanjutkan pembahasan rumusan pasal yang masih tertunda di RUU RKUHP.
Semula, pasal pertama yang lolos dirumuskan dan tidak membutuhkan perdebatan panjang adalah pasal 238 mengenai tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pasal yang berbunyi "Setiap orang yang menyerang diri presiden/wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun" itu hanya dimintai ketentuan penjelasan saja. Pihak pemerintah mengatakan, hal ini karena pasal masuk ke dalamnya penyerangan fisik.
"Oke pasal ini tidak ada masalah ya, diketok," ujar Ketua Panja RUU RKUHP Benny K Harman sekaligus pimpinan timmus saat rapat di Komisi III DPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (5/2).
Sementara pasal 239 tentang penghinaan presiden sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota Fraksi di timmus RUU RKUHP sebelum disepakati bersama Pemerintah. Hal ini karena ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari Pemerintah.
"Saya usulkan pasal tidak dihapus, tapi diganti jadi delik aduan," katanya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Anggota Panja RKUHP dari Fraksi PPP Arsul Sani yang menilai pasal cenderung menggangu kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang. Ia sempat meminta, jika pun tetap delik aduan maka ancaman hukuman diturunkan di bawah lima tahun.
"Saya memahami dan saya setuju kita tidak boleh seenaknya terhadap presiden dan wakil presiden, dihina begitu saja, apalagi kalau diftinah. tapi saya usulkan diturunkan agar tidak 5 tahun. Kalau lima tahun ini bisa langsung tahan oleh polisi," ujar Arsul.
Ia mencontohkan sejunlah perbuatan yang mengarah pada penghindaran presiden, berpotensi terhadap abuse of power dari penegak hukum. "Mahasiswa ngasih kartu kuning langsung ditahan. PPP usulkan dipertahankan. Tapi dikurangi untuk limitasi penegak hukum agar tidak sewenang-wenang," ujar Arsul.
Namun pihak Pemerintah bersikukuh beralasan bahwa penghinaan presiden dan wakil presiden juga mengacu pada pidana pasal penghinaan kepala negara asing di Indonesia yang juga delik umum, sehingga disejajarkan. Ketua Tim Pemerintah Pembahasan RUU RKUHP Enny Nurbaningsih menegaskan aturan pidana pasal penghinaan presiden tidak melihat siapa presidennya saat ini.
"Kalau kita lihat penghinaan ini memang sudah termasuk sesuatu yang sebetulnya pidana. Hanya kalau kita lihat penggunaan ini untuk presiden dia memang kita sudah buat penjelasan yang cukup panjang, kita tidak menempatkan sebagai delik aduan untuk Presiden tetapi kalau kemudian dipersoalkan tadi mengenai ancamannya apakah bisa diturunkan sangat bisa pak," kata Enny
Menurutnya, ancaman hukum masih menggunakan ketentuan lama tanpa ada ukuran. Sehingga dengan motode delphi yang kini tengah dihitung bobot dan ukuran pidana, dapat diubah.
Karena itu juga, pasal 239 akhirnya disetujui oleh timmus dan Pemerintah masuk RUU RKUHP sebagai delik umum, namun ancaman hukuman disesuaikan denhan motor delphi.
"Ini kita sepakati tetap menjadi delik umum ya dengan tadi model pidana yang tadi pake delphi model tadi," kata Benny sambil mengetok pasal tersebut.
Sementara pasal 240 yang mengatur pidana soal penyebarluasan, menyiarkan atau menempelkan, memperdengarkan konten melalui tulisan gambar atau apapun termasuk teknologi informasi dipending rumusannya dan di bawa ke rapat tingkat Panja Komisi III DPR.