Senin 05 Feb 2018 08:48 WIB

Jadi Guru Sekarang Taruhannya Nyawa

'Menjadi guru itu berat, kamu tidak akan kuat. Biar mereka saja.'

Karta Raharja Ucu
Foto: Republika/Daan
Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

Sebagai orang yang lahir dari rahim seorang guru, dan besar di lingkungan keluarga guru, saya merasa kasihan dengan guru-guru zaman sekarang. Khususnya guru honorer yang mendapatkan gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sudahlah gajinya kecil, nyawa mereka kini juga jadi taruhannya.

Tragedi pembunuhan guru di Sampang yang dilakukan muridnya sendiri menjadi puncak 'konflik guru-murid-orang tua/wali murid' yang dalam beberapa tahun terakhir muncul ke permukaan. Kasus yang terjadi di Sampang, Madura itu tak main-main. Teguran dari sang guru ternyata tak membuat murid sadar akan kesalahannya. Malah dia melontarkan kata tak sopan dan tanpa babibu langsung menghajar guru yang seharusnya ia hormati selayaknya orang tua sendiri.

Penganiayaan berujung maut itu menimpa seorang guru seni rupa bernama Ahmad Budi Thajyanto. Ia dihajar muridnya sendiri di SMAN 1 Torjun, berinisial HI, Kamis (1/2/2018) sekitar pukul 13.00 WIB. Dari informasi yang terkumpul, penganiayaan itu bermula saat korban mengisi pelajaran melukis di halaman luar depan kelas XII.

Saat kegiatan belajar berlangsung, pelaku tak menggubris dan menggangu teman lainnya. Korban menegur pelaku agar mengerjakan tugas seperti temannya yang lain. Namun, teguran itu tetap tidak dihiraukan pelaku. Korban kemudian menggoreskan cat ke pipi pelaku.

Pelaku tidak terima dan mengeluarkan kalimat tidak sopan. Karena tidak sopan, korban memukul pelaku dengan kertas absen. Pukulan itu ditangkis pelaku dan langsung menghantam mengenai pelipis kanan korban. Akibatnya, korban tersungkur ke tanah dan berusaha dilerai siswa lain. Usai kejadian itu seluruh siswa masuk kelas. Di dalam kelas, pelaku sempat meminta maaf kepada korban disaksikan murid-murid yang lain.

Setelah pelajaran usai, korban dan pelaku pulang ke rumahnya masing-masing. Korban masih sempat bercerita kepada kepala sekolah tentang kejadian pemukulan yang dilakukan muridnya. Setiba di rumah, korban langsung istirahat karena mengeluh pusing dan sakit kepala. Sekitar pukul 15.00, korban dibawa ke Puskesmas Jrengik, Kabupaten Sampang.

Karena pihak Puskesmas tidak mampu menangani, korban kemudian dirujuk ke rumah sakit Kabupaten Sampang. Korban kembali dirujuk ke rumah sakit DR Soetomo, Surabaya. Pihak rumah sakit kemudian menangani korban dan korban dinyatakan mengalami mati batang otak (MBO), yang menyebabkan seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi. Sekitar pukul 21.40, korban dinyatakan meninggal dunia. Korban kemudian langsung dibawa pulang dari RS Dr Soetomo Surabaya ke rumah duka di Dusun Pliyang, Desa Tanggumong Kota di Sampang.

Mantan ketua MK, Mahfud MD Pria berpendapat, tragedi pembunuhan guru di Sampang yang dilakukan muridnya sendiri sangat memilukan. Sebab, selama ini Madura dikenal daerah yang mempunyai kultur pendidikan agamis.

"Saya dulu waktu sekolah dimarahi guru justru orang tua senang, malah ketika pulang orang tua mengantarkan lagi ke guru suruh marahin lagi, tetapi sekarang tidak, malah siswa memukuli guru," tutur pria kelahiran Sampang itu.

Yang dikatakan Mahfud mungkin juga dirasakan murid-murid di era 1990-an dan lebih lama lagi. Mahabbah murid kepada guru pada era itu sangat tinggi. Di era saya sekolah, murid-murid takut untuk sekadar lewat ruang guru. Apalagi untuk mampir. Ke guru pun demikian. Untuk menatap lama-lama pun sangat sungkan.

Para orang tua dulu juga sangat menghormati profesi guru. Orang tua akan menyerahkan pendidikan anak-anaknya di sekolah kepada guru. Jika dapat hukuman dari guru dan ketahuan orang tua di rumah, bukan malah dibela, tapi bisa-bisa ditambahkan. Dicubit guru karena tak mengerjakan pekerjaan rumah, itu hal biasa.

Telinga atau anak rambut ditarik karena bercanda di dalam kelas, itu hal lumrah. Saya yakin, semua 'hukuman' yang diberikan itu tanda sayang kepada muridnya, bukan benci apalagi sekadar iseng belaka.

Tetapi zaman sudah berubah. Semua 'hukuman' yang diberikan guru kepada muridnya itu menjadi malapetaka bagi mereka. Masih ingat kasus Malayanti, guru SMA Negeri 3 Wajo, Sulawesi Selatan yang dilaporkan ke polisi karena dianggap telah mencubit muridnya pada 6 November 2017? Cubitan itu diberikan Malayanti bukan tanpa sebab.

Saat memberikan materi kewirausahaan dalam kelas, ia melihat seorang muridnya bermain ponsel. Malayanti lalu mengingatkan murid itu dengan mencubit lengannya. Tak terima, murid itu pun melaporkan Malayanti ke Polres Wajo.

Bersama orang tuanya, murid berinisial DA itu datang melaporkan Malayanti ke Polres Wajo. Meski berujung damai tanpa melewati proses hukum, kasus itu tamparan keras bagi dunia pendidikan. Murid melaporkan gurunya karena kesalahan yang dilakukannya sendiri, bermain ponsel di dalam kelas.

Lain lagi kasus yang dialami Hayari, guru SMA 1 Kendari, Sulawesi Tenggara. Ia dianiaya orang tua siswanya pada 20 Oktober 2017 di sekolah. Hayari dipukul SD, orang tua siswanya berinisial CHD. Ia dipukul lantaran menegur dengan mengibaskan empat lembar kertas ke wajah CHD. Alasannya, CHD berbicara kasar dan memaki Hayari di dalam kelas. Tak terima CHD melapor kepada orang tuanya.

Selang beberapa jam kemudian, SD datang dan langsung memukul Hayari. Bahkan ia mengancam akan membunuh Hayari dengan senjata tajam yang dibawanya. Tak terima, ia pun melaporkan murid dan orang tuanya ke Mapolres Kendari pada Ahad, 22 Oktober 2017, dan kasusnya berlanjut ke ranah hukum.

Dan puncak dari konflik guru dengan murid terjadi di Sampang, saat seorang guru harus kehilangan nyawanya karena mengajarkan sopan santun kepada anak didiknya. Almarhum Budi tetap bertahan menjadi guru meski hanya digaji Rp 600 ribu per bulannya. Dengan menanggung satu orang istri, saya yakin perekonomian keluarga almarhum Budi sangat berat. Biaya hidup seperti makan, transportasi, pengeluaran rumah tangga lainnya yang kian naik, bisa jadi Budi dan istrinya hidup serba pas-pasan.

Di sekolah menengah atas, saya pernah punya seorang guru yang berdomisili di Parung, Bogor. Beliau pernah cerita, saban hari berangkat dari rumah pukul 04.00 pagi menuju timur Jakarta. Tak jarang sehari-harinya Shalat Subuh di stasiun, atau bahkan di dalam kereta. Semua itu dilakukan demi satu tujuan, memberikan contoh disiplin untuk murid-muridnya. Gajinya? Ah jangan bicarakan soal itu. Saya yang pernah datang ke rumah beliau bersama kawan-kawan, cuma bisa terdiam di depan rumah yang sederhana.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, total jumlah guru mencapai 3.015.315. Rinciannya 2.294.191 guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru tetap yayasan (GTY). Sisanya, 721.124 merupakan guru tidak tetap atau honorer K2. Sayangnya, harapan ratusan ribu guru honorer yang berharap diangkat menjadi PNS masih bertepuk sebelah tangan. Meski mereka di berbagai kesempatan kerap melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut kesejahteraan.

Tapi jangan sebut mereka matre. Jika orientasi dunia pendidikan hanya sekadar uang, barangkali tidak akan ada yang mau menjadi guru. Khususnya di daerah terpencil. Di sejumlah daerah, gaji guru honorer sangat jauh dari kata layak. Tingkat kesejahteraan dan pendapatan yang diperoleh selama ini sangat tidak manusiawi.

Guru honorer di Gresik misalnya, rata-rata digaji Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu setiap bulan pada 2017. Artinya jika ditotal selama satu tahun, gaji guru honorer di Gresik sekitar Rp 3 juta, jauh dari Upah Maksimum Kota atau Kabupaten (UMK) Gresik yang mencapai Rp 3,29 juta.

Di Mamuju Utara, nasib guru honorer lebih horor lagi. Mereka hanya digaji Rp 150 ribu per bulan. Penderitaan mereka kian parah ketika dana BOS terlambat dicairkan. Jika tidak ingin susah payah gali lubang tutup lubang untuk menyambung hidup, bisa saja guru-guru tersebut beralih profesi, sebagai pengemudi transportasi online misalnya. Tapi toh, masih banyak guru yang tulus mengabdikan diri di dunia pendidikan hanya untuk mengejar balasan di akhirat dengan tabungan ilmu yang bermanfaat.

Bicara soal gaji, berdasarkan laporan Education Efficiency Index, guru di Indonesia paling kurang mendapatkan apresiasi dari negara. Dari 30 negara yang disurvei, Swiss menjadi negara teratas yang menggaji guru paling tinggi, bahkan lebih tinggi daripada gaji rata-rata kelas menengah di negara tersebut.

Di Negeri Cokelat itu, guru mendapatkan gaji Rp 950 juta per tahun. Belanda, Jerman, Belgia juga tidak melupakan kesejahteraan guru. Di Prancis, guru digaji sekitar Rp 461 juta per tahun, sementara penghasilan guru di Yunani mencapai Rp 325 juta per tahun.

Jauh panggang daripada api, gaji guru di Indonesia hanya sekitar Rp 39 juta per tahun dengan catatan gaji guru PNS di sekitar Rp 1.486.500 hingga Rp 5.620.300, bergantung pada golongan kepegawaiannya. Sedangkan gaji guru non-PNS atau honorer lebih sadis lagi. Berdasarkan surat dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kepada Presiden RI, rata-rata penghasilan guru non-PNS pada 2012 hanya Rp 200 ribu.

Dengan catatan-catatan mengerikan di atas, apa yang dikejar para pendidik jika bukan pahala? Barangkali murid-murid seperti HI atau CHD yang berani memaki bahkan memukul hingga gurunya meninggal dunia, baru akan sadar ketika mereka mengetahui kerasnya perjuangan seorang guru untuk menghidupi keluarga, tanpa pernah mengeluh kepada murid-muridnya jika perekonomian mereka sedang karut-marut.

Para guru yang digaji kecil harus tetap memberikan pendidikan yang baik, meski setelah mengajar mereka bekerja serabutan, atau harus ngutang sana-sini agar dapur mereka tetap ngebul.

Saya pernah bertanya kepada ibu, mengapa masih mau menjadi guru. Padahal gajinya kecil. Apalagi dulu ibu saya punya kesempatan besar mengikuti jejak kakak-kakaknya menjadi seorang tentara. "Buat bekal di akhirat," kata dia. "Jadi guru enak, banyak yang doain."

Mengutip nasihat sahabat mulia, Umar bin Khattab radiallahu anhu kepada seorang sahabat lainnya, "Tawadhu’lah kalian terhadap orang yang mengajari kalian". Murid kepada guru memang sudah seharusnya hormat. Seperti pengakuan Imam al-Syafi’e rahimahullah kepada gurunya, Imam Malik rahimahullah. “Dulu aku membolak-balikkan kertas di depan guru (Imam Malik) dengan sangat lembut karena segan kepadanya dan supaya dia tidak mendengarnya.”

Menjadi guru itu berat, kamu gak akan kuat. Biar mereka saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement