Jumat 02 Feb 2018 10:10 WIB

'Pilkada Serentak Harus Bersih dari Provokasi SARA'

Lapisan akar rumput adalah yang paling mudah terprovokasi.

Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Radikalisme sangat rentan terjadi di tengah masyarakat yang  emosi. Karena itu sekecil apapun provokasi yang bisa menyulut terjadinya radikalisme harus diantisipasi atau bahkan dienyahkan, terutama saat bangsa Indonesia tengah melaksanakan pesta demokrasi. Apalagi provokasi itu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Sebagai negara majemuk, potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat sangat tinggi, apalagi jelang digelarnya Pilkada Serentak. Karena itu, pemerintah, terutama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti mewaspadai kemungkinan itu sedini mungkin,” ujar salah satu kelompok ahli BNPT, Prof Dr Syaiful Bakhri, Kamis (1/2).

Menurutnya, masyarakat itu terbagi dalam tiga lapisan yaitu elite, menengah, dan akar rumput (bawah). Dari ketiga lapisan itu, lapisan akar rumput yang paling mudah terprovokasi, sementara kalangan elite adalah kelompok yang bisa memprovokasi, sedangkan kelompok menengah relatif netral dan tidak terlalu mempersoalkan siapa yang mau jadi pemimpin.

“Kalangan kelas atas biasanya punya desain untuk mempertahankan posisi mereka. Caranya dengan masuk partai politik dan pergaulan elite lainnya. Meski jumlahnya sedikit, kalangan atas yang memiliki uang inilah yang bisa kerjasama atau membiayai provokator,” jelas pria yang juga rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini.

Karena itu, ia mengajak seluruh masyarakat untuk mewaspadai terjadinya provokasi dan kampanye hitam, apalagi mengatasnamakan SARA dalam Pilkada Serentak nanti. Semua harus sepakat untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang ini yaitu Indonesia damai, tenteram dan bahagia, sebagai kepentingan nasional yang mutlak.

Selama ini, lanjut Syaiful, Indonesia sudah berjalan dengan baik dan telah berpengalaman menjalankan pesta demokrasi terbuka, baik itu Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Presiden (Pilpres), sebanyak empat periode. Dalam pengalamannya, pada penyelenggaraan pesta demokrasi itu selalu terjadi gesekan tapi tidak menimbulkan konflik yang bersifat nasional, tapi hanya kedaerahan.

Ia meminta, kepolisian sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat harus berfungsi dengan baik selama mengawal pelaksaan pesta demokrasi itu. Selain itu, masyarakat juga harus terlibat dalam menjaga keamanan dan ketertiban sehingga sekecil apapun kemungkinan terjadinya gesekan bisa diantisipasi dari tingkat paling bawah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement