REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara, Bvitri Susanti, mengatakan pengesahan terhadap Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidanan (RKUHP) sebaiknya dihentikan. Menurutnya, akan sangat berisiko jika RKUHP ini dipaksakan untuk disahkan.
"Pengesahan RKUHP ini sebaiknya ditunda atau dihentikan saja. Sebab dampaknya banyak dan luar biasa," ujarnya kepada wartawan usai mengisi diskusi bertajuk 'RKUHP Ancam Demokrasi?' di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2).
Bvitri lantas menyebutkan, berbagai pertimbangan yang mendasari hal itu. Dia mengungkapkan, pembahasan pasal-pasal dalam RKUHP tidak didasarkan kepada studi yang komprehensif.
"Belum pernah diukur misalnya di pasal perzinahan dan LGBT, kalau dengan model pasal seperti yang ada di RKUHP saat ini, dari sisi hukum maka nanti akan luar biasa pekerjaan penegakan hukumnya, " lanjut dia.
Penegakan hukum ini terkait dengan kemampuan penegakan hukum baik oleh aparat penegak hukum, penjara dan sebagainya. Pertimbangan kedua, RKUHP saat ini terkesan mengabaikan adanya kelompok adat.
Hal tersebut merujuk kepada pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat adat. Masyarakat ini, kata Bvitri berpeluang terkena pasal perzinahan.
"Sebab mereka masih ada yang menikah bukan secara agama (tetapi secara adat), dan tidak diakui oleh negara (secara hukum). Hal-hal semacam ini sepertinya tidak diperhitungkan, " jelas Bvitri.
Dia pun mengkritisi proses pembahasan RKUHP yang hanya dihadiri segelintir anggota dewan. Sementara itu, para ahli hukum tidak dilibatkan dalam pembahasan.
Padahal, kata dia, pasal yang dibahas sebanyak 700-an pasal. Padahal, implikasi dari RKUHP ini sangat luas.
" Karena itu, sebaiknya dihentikan saja. DPR berencana akan memutuskan pada 15 Februari mendatang (sebelum masuk masa reses). Takutnya ada potensi kalau nanti akan dilanjutkan pembahasannya pada Maret, DPR sudah tidak konsen, sebab sudah mulai memasuki Pilkada 2018, " tegas Bvitri.