Kamis 01 Feb 2018 16:05 WIB

Dokter Ungkap Bahaya LGBT, dari AIDS Sampai Sifilis

Pemerintah perlu menyosialisasikan tentang bahaya perilaku LGBT.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi: Gay
Ilustrasi: Gay

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Dewi Inong Irana mengatakan pemerintah perlu mensosialisasikan mengenai bahaya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Sebab, banyak dari pelaku LGBT, khususnya perilaku lelaki seks dengan lelaki (LSL), beranggapan bahwa hal tersebut tidak berbahaya.

"Prilaku (LGBT) bukan hanya HIV / AIDS akibatnya. Infeksi menular, sarkoma kaposi, sifilis, gonore, kondiloma, IGNS, akuminata, ulkus mole, hepatitis B dan C, dan lainnya," kata Inong pada diskusi 'LGBT dari aspek Prilaku dan Propaganda' di DPP PAN, Jakarta, Kamis (1/2).

Ia mengatakan, perlu dibentuknya layanan masyarakat oleh pemerintah untuk menginformasikan berbagai bahaya dari perilaku tersebut. Tiap tahun penderita penyakit yang diakibatkan oleh perilaku LGBT semakin meningkat.

Seperti halnya HIV/AIDS, lanjut Inong, persentase HIV yang dilaporkan menurut jenis kelamin sejak Januari hingga Maret 2017, laki-laki 66 persen dan perempuan 34 persen. Sementara, angka kejadian penderita HIV/AIDS di Indonesia, satu dari empat pelaku LSL Indonesia sudah terinfeksi HIV/AIDS.

"Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Kementerian Kesehatan selama triwulan 1 2017, itu ada kasus HIV 10.376 dan kasus AIDS 673," tambah Inong.

Perilaku tersebut, kata Inong, tidak sesuai dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan sila kedua. Pancasila memang menjamin hak asasi, namun, perilaku tersebut tidak sesuai dengan Pancasila karena ada akibatnya.

"Kita tidak membenci orangnya, tapi perilaku seksualnya, sebab terbukti akibatnya, tidak sesuai dengan Pancasila terutama sila satu dan dua. Jadi ini perlu diumumkan oleh pemerintah Indonesia," tambahnya.

Selain jumlah penderitanya yang meningkat, juga dapat menghancurkan generasi penerus bangsa. Dan juga, menghabiskan uang negara. Selama 2017, pemerintah telah menghabiskan satu triliun rupiah untuk menangani penderita penyakit seksual.

"Terjadi economic burden yang menghabiskan uang negara. Dimana penderita harus minun obat seumur hidup," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement