REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) tetap menolak rencana pemerintah dalam membuka akses perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia. Menurut dia, kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi pun minim.
"APK kita masih 31 persenan, otomatis ya hanya 31 persen itu yang mampu melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Hadirnya PTA itu nanti jadikan kita saling gerus mahasiswa, dan pada akhirnya berujung pada matinya PTS kecil," kata ketua Aptisi Budi Djatmiko pada acara Rembug Nasional II Aptisi di Kampus I Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat, Rabu (31/1).
Dia menjelaskan, selama ini setiap regulasi yang benuk oleh pemerintah dinilai selalu merugikan PTS. Selain itu, menurut dia, otonomi pengelolaan PTS pun pada implikasinya tidak berjalan dengan baik. Sehingga menurut dia, lebih baik pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut.
"Kita gak dikasih anggaran banyak oleh pemerintah hanya 7 persen, terus kita juga harus survive dalam persaingan global ini, dan pasar kita (mahasiswa) juga semakin tergerus, bagaimana ini?" kata dia.
Meski begitu, dia mengakui, dengan dibukanya akses PTA di Indonesia bisa semakin membuka akses pendidikan global yang lebih luas. Namun jika tujuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Budi melanjutkan, lebih baik pemerintah mengambil mahasiswa dan dosen dari luar negeri untuk kemudian membagikan ilmunya di Indonesia.
Selain itu, Aptisi pun meminta agar pembatasan mahasiswa di PTN bisa segera direalisasikan. Sehingga, jika PTA tetap akan dibuka di Indonesia, mahasiswa PTS akan bisa lebih banyak.
"Jadi PTN cukup 2.500- 3 ribu saja, silakan kejar kualitas pendidikan yang kelas dunia. Dan kamipun bisa survive karena mahasiswanya akan bertambah," jelas dia.
Advertisement