REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Perempuan penyandang disabilitas rentan mengalami kekerasan seksual karena keterbatasan yang dimiliki. Bahkan, sejumlah perempuan penyandang disabilitas juga mengalami kekerasan seksual berupa pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.
Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), Nurul Saadah Andriani mengatakan, pemaksaan itu kerap dilakukan oleh keluarga dari perempuan penyandang disabilitas.
“Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi hal itu,” ujarnya di sela Workshop Perlindungan Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi Perempuan Penyandang Disabilitas, di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (30/1).
Beberapa faktor itu di antaranya adalah, karena perempuan penyandang disabilitas rentan mengalami kehamilan atas adanya pelecehan seksual. Maka, pihak keluarga merasa enggan untuk merawat anak dari perempuan penyandang disabilitas tersebut.
“Perempuan penyandang disabilitas dianggap tidak cukup cakap untuk merawat anak. Otomatis, keluarga terdekatlah yang nantinya harus merawat anak tersebut. Demi menghindari munculnya beban keluarga itu, maka munculah sejumlah kasus pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi kepada perempuan penyandang disabilitas. Bahkan, ada perempuan penyandang disabilitas yang dipaksa menjalani sterilisasi,” kata Nurul.
Selain itu, keluarga terdekat juga memiliki kekhawatiran, anak yang dilahirkan juga berpotensi merupakan anak penyandang disabilitas. Mengingat, lanjutnya, sang ibu yang merupakan perempuan penyandang disabilitas dinilai tidak cukup cakap dalam menjaga kehamilannya.
Ia menilai, kekerasan seksual melalui pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi seharusnya tak perlu dilakukan karena itu merupakan hak seksual perempuan penyandang disabilitas. “Seharusnya, pihak keluarga dapat membicarakan hal itu kepada perempuan penyandang disabilitas. Berikan ia hak untuk menentukan. Bukan dengan dipaksa,” ujarnya.