Selasa 30 Jan 2018 05:19 WIB

Sosok Militerkah Calon Pendamping Jokowi?

Jokowi dinilai butuh sosok militer sementara PDIP banyak mengangkat jenderal polisi.

Tentara (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Tentara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Dessy Suciati Saputri, Ronggi Astungkoro, Febrianto A Saputro

Pendaftaran kandidat presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2019 masih tergolong lama. Namun, berbagai manuver politik sudah terlihat untuk bisa tampil baik sebagai capres maupun cawapres.

Sejumlah tokoh mencoba menarik perhatian dengan memasang baliho dan poster-poster di jalan-jalan. Ada juga yang memberikan komentar sensitif untuk mendapat atensi rakyat atas masalah-masalah krusial. Lainnya, mencoba tampil dengan gerakan bawah tanah yang tak terlihat.

Presiden Jokowi salah satu yang menjadi sorotan saat ini. Banyak individu yang mencoba merangsak masuk untuk bisa menjadi calon wapres Presiden Jokowi. Namun, tampaknya upaya-upaya itu masih jauh dari harapan. Yang menarik, ada semacam sinyal dari Presiden Jokowi untuk menarik sosok militer ke dalam lingkaran pilpres mendatang.

Yang jelas, pengamat militer dari Universitas Padjadjaran, Muradi, menlilai Presiden Joko Widodo membutuhkan sosok berlatar belakang militer untuk persiapan Pilpres 2019. Penunjukan Jenderal (Purn) Moeldoko dan Agum Gumelar untuk mengisi posisi strategis di pemerintahan mengesankan hal itu.

"Itu memungkinkan kenapa Pak Jokowi memilih Pak Moeldoko dan Pak Agum Gumelar," ungkap Muradi, Senin (29/1).

Muradi menilai pemilihan kedua figur berlatar belakang militer itu dipilih untuk mengimbangi figur lain yang berlatar belakang militer pula. Figur yang sekiranya akan menjadi lawan pada Pilpres 2019 mendatang. "Jadi memang ini langkah yang saya kira harus dilihat untuk persiapan 2019. Saya kira sosok Moeldoko dan Agum relatif bersih," katanya.

Melihat perkembangan sejak 2016-2017, ada persepsi yang dikembangkan oleh lawan politik Jokowi. Persepsi di mana pemerintahan Jokowi dikesankan berjarak dengan TNI. Khususnya, kata Muradi, saat panglima TNInya dijabat Gatot Nurmantyo. Karena itu, kata Muradi, dengan menjadikan sejumlah purnawirawan TNI pada posisi strategis, diharapkan persepsi dan kesan berjarak dengan TNI itu tidak lagi menguat, justru sebaliknya dapat dikesankan mencair dan semakin akrab.

Presiden Jokowi pada Rabu (17/1) lalu melantik Moeldoko sebagai kepala Kantor Staf Kepresidenan menggantikan Teten Masduki yang akan menjabat sebagai koordinator Staf Khusus Presiden. Selain itu, ia juga melantik Agum Gumelar sebagai anggota Wantimpres.

Dalam beberapa diskusi tentang calon pendamping Jokowi pada Pilpres 2019 sejumlah nama militer muncul. Salah satunya nama Moldoko itu sendiri yang kini masuk ke dalam lingkaran satu Presiden. Sebelumnya, nama Gatot Nurmantyo sempat santer dikabarkan, namun kemudian hilang seiring kurang harmonisnya hubungan Gatot dan Presiden.

Nama lain yang masuk bukan dari militer. Ada Kapolri Tito Karnavian, Kepala BIN Budi Gunawan, ada Menteri Keuangan Sri Mulyani, Agus Harymurti Yudhoyono, Zulkifli Hasan, hingga mantan Ketua MK Mahfud MD.

PDIP dekati polisi

Penilaian persiapan Jokowi untuk Pilpres 2019 dengan mendekati sosok militer berbanding terbalik dengan PDIP selaku partai yang mengusung Jokowi pada 2014 lalu. Belakangan ini, PDIP justru merapat ke jenderal-jenderal polisi, terutama yang masih aktif.

PDIP mengusung tiga jenderal aktif untuk maju di sejumlah daerah pilkada, yaitu Irjen Anton Charliyan di Jawa Barat, Irjen Murad Ismail di Maluku, dan Irjen Safaruddin di Kalimantan Timur.

Selain itu, yang terbaru, Mendagri Tjahjo Kumolo yang berasal dari PDIP berkeras mengangkat dua jenderal aktif polisi sebagai penjabat gubernur, yaitu Irjen M Iriawan yang saat ini menjabat asisten kapolri bidang operasi sebagai pj gubernur Jawa Barat dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin menjadi pj gubernur Sumatra Utara.

PDIP hingga saat ini belum resmi mendeklarasikan untuk mengusung Jokowi sebagai capres 2019. Padahal, sejumlah partai seperti Hanura, Nasdem, dan Golkar sudah resmi mengusung Jokowi.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago melihat ada indikasi PDIP lebih merapat ke jenderal polisi. Itu tak terlepas dari sosok Jenderal Budi Gunawan yang memang terkenal dekat dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri.

Menurut Pangi, ada indikasi PDIP menginginkan BG untuk menjadi cawapres pada pilpres mendatang, sedangkan hingga saat ini PDIP belum melihat ada capres lain yang lebih potensial dari Jokowi. Karena itu, langkah politiknya adalah PDIP dan BG perlu memasang dan mengader para jenderal. Tujuannya untuk menguatkan jaringan BG hingga ke bawah dari lingkaran Polri.

“Ini bukan tidak mungkin ada jaringan ke BG. Jadi, BG membangun jaringan dulu, ibaratnya cakar ayam. Nah, kita tahu BG dan PDIP itu kan dekat,” kata Pangi.

Sementara, Jokowi juga memasang strategi menguatkan sosok militer di sekitarnya. Tujuannya untuk memecah barisan para purnawirawan agar tidak mendukung capres lain yang berasal dari militer. “Prabowo, misalnya,” kata Pangi.

Polri sebelumnya menegaskan netralitasnya dalam pilkada 2018 maupun pemilu 2019. Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin mengeluarkan 13 butir pedoman netralitas polisi pada pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

Sikap netralitas Polri, kata dia, bersikap wajib untuk seluruh anggota Polri. Anggota Polri dilarang terlibat langsung dalam politik praktis. Siapa pun yang melanggar akan disanksi.

PDIP tak Pernah Ikut Campur

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan, PDIP tidak pernah campur tangan menentukan sosok yang akan dipilih menjadi penjabat (pj) gubernur. PDIP menyerahkan seluruhnya urusan itu kepada pemerintah.

"Kami yakin pemerintah menjalankan tugasnya sepenuhnya dengan ketentuan UUD," kata Hasto, Senin (29/1).

Hasto mengakui, dirinya sudah berkoordinasi dengan Mendagri Tjahjo Kumolo terkait hal tersebut. Menurut dia, hal yang paling utama yang harus dipikirkan adalah bagaimana penjabat menjalankan tugas sebaik-baiknya. "Kita menempatkan segala sesuatu pada proporsinya. Sekali lagi, partai tidak pernah campur tangan hal tersebut," ujarnya.

Hasto menilai ada kesalahpahaman terkait kabar usulan pengangkatan penjabat gubernur tersebut. Hasto mengambil contoh, pengangkatan penjabat gubernur di Sumatra Utara dan Jawa Barat baru akan dimulai pada pertengahan Juni, mengingat gubernur pejawat masih menjabat sampai pertengahan juni atau 10 hari sebelum pilkada serentak dijalankan.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte berpendapat penunjukan anggota Polri dan TNI dalam pemerintahan ini lebih dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi konflik di tiap daerah.

“Sebetulnya pertimbangannya mungkin, ya, karena kita tahu mungkin ini mengantisipasi pilkada dan kemungkinan potensi konflik. Tapi, yang kedua, memang Mendagri punya wewenang menetapkan plt sehingga itu kewenangan Mendagri,” jelasnya.

Philips mengatakan, penunjukan jenderal polisi aktif ini tak akan memengaruhi citra pemerintahan Jokowi. Sebab, jabatan tersebut hanya akan diemban sementara.

(Pengolah: muhammad hafil).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement