REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memastikan perguruan tinggi asing (PTA) yang hendak membangun kampusnya di Indonesia akan diklasifikasikan pada perguruan tinggi swasta. Artinya, biaya pendidikan di PTA akan relatif mahal ketimbang perguruan tinggi negeri (PTN), sehingga PTA tidak akan mematikan popularitas PTN.
"Jadi PTA tidak akan kami kontrol, SPP nya pasti mahal. Beda dengan PTN yang SPP nya kami kontrol, dan di PTN tetap ada 20 persen untuk mahasiswa yang kurang mampu sebagai akses agar mendapatkan pendidikan yang berkualitas," kata Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Patdono Suwignjo usai konferensi pers terkait Kebijakan Menghadapi Revolusi Industri 4.0 di Jakarta, Senin (29/1).
Meski begitu, menurut Patdono, hingga saat ini Kemenristekdikti masih mengkaji regulasi yang jelas mengenai izin dan teknis PTA di Indonesia. Kebijakan yang jelas perlu dirumuskan agar PTA bisa menyesuaikan sistem belajarnya dengan kultur, kebutuhan, serta tidak mematikan perguruan tinggi swasta (PTS) lainnya yang telah berdiri di Indonesia.
Karena itu, terang Patdono, nantinya PTA juga akan didorong agar bisa bekerjasama dengan PTS yang telah berdiri. Kerjasama dinilai penting agar bisa mendongkrak kualitas PTS dan minat siswa untuk berkuliah di PTS.
"Yang pasti harapan kami, kebijakan tersebut bisa menaikkan angka partisipasi kasar (APK) untuk jenjang pendidikan tinggi di Indonesia masih minim, yang tetap bertahan diangka 31 persen," jelas Patdono.
Dia menambahkan, Kemenristekdikti pun akan mendorong program studi (prodi) yang nantinya dibuka oleh PTA adalah bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) yang saat ini sumber daya manusianya sedang dibutuhkan. Termasuk ilmu pendukung lainnya yang terkait dengan bisnis dan manajemennya. Sehingga, keberadaan PTA, diharapkan bisa memudahkan akses kuliah berkualitas tanpa harus pergi ke luar negeri.