Sabtu 27 Jan 2018 14:01 WIB

Ada Apa Pati Polri Jadi Plt Gubernur Sumut dan Jabar?

Pilgub Sumut dan Jabar dalam dua periode ini menjadi basis kemenangan kader PKS.

Topi Polisi (ilustrasi)
Foto: senimanbeladiri.blogspot.com
Topi Polisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Umar Mukhtar, Issha Harruma

Dinamika politik Indonesia memang tidak ada habisnya. 'Cuaca panas' politik menjelang pilkada serentak 2018 terjaga dengan baik. Jagad maya dan jagad nyata pun bereaksi. Kali ini, soal rencana atau wacana masuknya perwira tinggi (pati) Polri menjadi pejabat (pj) gubernur Sumut dan Jabar.

Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul menyatakan ada dua perwira tinggi Polri yang bakal memimpin sementara di dua provinsi tersebut. Rencana ini, menurut Martinus, disampaikan Wakil Kepala Polri Komjen Pol Syafruddin dalam rapat pimpinan Polri di Jakarta, Kamis (25/1).

Informasi ini, kata Martin, masih menunggu surat resmi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri. "Informasi yang saya terima untuk provinsi Jawa Barat, pelaksana tugasnya akan diisi oleh Asisten Operasi Kapolri Irjen M Iriawan," kata Martinus.

Untuk Sumatra Utara direncanakan dijabat Irjen Martuani Sormin yang menjabat sebagai Kadiv Propam Polri saat ini.

Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan pertimbangannya mengusulkan dua petinggi kepolisian sebagai pemimpin sementara dua provinsi itu. Pertimbangan kerawanan Pilkada menjadi salah satu faktor penunjukan tersebut.

Penunjukan dua petinggi itu, katanya, masih merupakan usulan. Keputusan dari Presiden Joko Widodo pun belum keluar. Pada Pilkada 2017 lalu ia juga mengusulkan dari kalangan kepolisian dan diizinkan.

Saat itu Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu dilantik menjadi pejabat Gubernur Sulawesi Barat, sementara Soedarmo dari TNI (purnawirawan) ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Aceh.

Tjahjo menambahkan, pertimbangan menempatkan TNI dan Polri di Aceh karena tingkat kerawanan di daerah itu cukup tinggi. Kemendagri, jelas Tjahjo, tidak mungkin melepas semua pejabat eselon I untuk menjadi pejabat gubernur ke provinsi-provinsi penyelenggara Pilkada 2018. Sebagaimana diketahui, ada 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2018.

Logika Kemendagri, kata Mendagri, jika nanti ditunjuk Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai pejabat gubernur, nanti diindikasikan menggerakkan PNS. "Kalau semua pejabat dilepas kosong kan Kemendagri. Maka seperti tahun lalu, saya minta kepolisian, Kemenkopolhukam. Intinya pejabat TNI atau Polri yang berpangkat mayjen, eselon I. Bisa saja tahun depan ada juga dari kejaksaan," papar Tjahjo.

Kapolri Muhammad Tito Karnavian menilai, berdasarkan hasil pendaftaran para pasangan calon, Polri sudah bisa melihat potensi kerawanan. Potensi kerawanan itu dilihat dari variabel-variabel yang dibawa oleh para pasangan calon itu sendiri.

Tito menjamin penyelenggaraan pilkada serentak bisa aman dan lancar, asalkan, isu-isu yang memicu kerusuhan tidak digunakan oleh oknum-oknum tertentu. Isu tersebut seperti isu SARA maupun kampanye-kampanye hitam.

KPU telah menetapkan 171 daerah yang akan melangsungkan pilkada serentak. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada pada 2018. Berdasarkan analisis Polri, terdapat lima provinsi yang paling rawan, yakni Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Selama dua periode, Jawa Barat menjadi ladang kemenangan gubernur yang diusung PKS. Ahmad Heryawan sudah dua kali menjadi gubernu meski PDIP menjadi partai pemenang pilkada. Jawa Barat memiliki jumlah pemilih terbanyak baik untuk pilkada maupun pilpres mendatang.

Pada pilpres lalu, calon yang diusung PKS memenangkan pertarungan di Jabar, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pesaingnya, Jokowi-JK tidak mampu meraup suara terbanyak di sini. Pada pilgub lalu, pasangan Aher-Deddy Mizwar mendapat dukungan dari PPP dan Hanura jugh.

Di Sumut pun dua kali PKS memenangkan pilgub Sumut, yakni pada 2008-2103 dan 2013-2018. Untuk pilpres, pasangan Jokowi-JK menang atas Prabowo-Hatta.

Masih wacana meski sah-sah saja

Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin mengatakan naiknya dua pati Polri menjadi gubernur masih berupa wacana dan itu bukan urusan Polri. “Itu masih wacana dan bukan domainnya Polri. Domainnya Kemendagri. Baru diwacanakan, belum, belum, belum,” ujar Syafruddin di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Jumat (26/1).

Kendati demikian, Wakapolri melanjutkan, kebijakan menunjuk perwira tinggi polisi menjadi pj gubernur bukanlah hal yang baru dan sudah pernah dilakukan sebelumnya. Mengenai masalah rangkap jabatan, Syafruddin pun menyatakan hal tersebut tidak menjadi masalah. Semua pejabat yang ditunjuk menjadi pj gubernur oleh Mendagri juga merangkap jabatan.

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung Muradi berpendapat, penetapan perwira Polri menjadi plt gubernur memungkinkan untuk dilakukan dengan sejumlah pertimbangan strategis. Pertimbangan strategis tersebut antara lain mengenai aspek pencegahan terhadap kemungkinan konflik pelaksanaan pilkada dan penegasan netralitas dari plt gubernur.

“Penekanan ini menjadi memungkinkan dilakukan manakala posisi untuk pengisian penjabat gubernur tersebut tidak sepenuhnya diisi oleh unsur petinggi di Kemendagri,” kata dia.

Dia melanjutkan, kemungkinan plt gubernur diambil dari unsur di luar Kemendagri, seperti kejaksaan, Polri, ataupun TNI sudah diatur dalam UU 10/2016 Pasal 101 dan Permendagri 1/2018 Pasal 4 dan Pasal 5. Kedua aturan itu pulalah yang dijadikan dasar hukum kebijakan pengangkatan penjabat dari unsur Polri dan TNI pada 2015 lalu.

Pada Pilkada 2015 lalu, kata dia, ada dua perwira dari TNI dan Polri yang menjabat sebagai penjabat gubernur di Aceh dan Sulawesi Barat. Pertimbangan saat itu berbasis pada potensi konflik di kedua daerah tersebut. Penunjukan pj gubernur di Aceh dan Sulbar disertai harapan terciptanya koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh mereka yang bukan dari unsur institusi keamanan.

Bila mengacu pada perundang-undangan yang terkait TNI atau Polri, baik UU 2/2002 tentang Polri maupun UU 34/2004 tentang TNI, kata Muradi, penekanannya lebih pada keterlibatan dalam politik praktis. Namun, jika dilihat lebih detail, keberadaan untuk mengisi jabatan sebagai pejabat kepala daerah tersebut dimungkinkan karena penekanannya pada pelayanan sebagai kepala daerah.

Penolakan-penolakan

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai penunjukan pelaksana tugas gubernur dari Polri dalam masa pilkada 2018 justru akan membebani presiden. Jika nanti kinerjanya kurang baik dan terjadi situasi kurang kondusif, maka Presiden yang akan menjadi sasaran protes publik.

Zulkifli mengatakan Jawa Barat dan Sumatra Utara adalah provinsi strategis dengan jumlah penduduk padat. Ia mempertanyakan mengapa tidak menunjuk pejabat eselon satu dari Kementerian Dalam Negeri. Ketua Umum PAN ini mempertanyakan keputusan yang kurang lazim ini.

Menurut pengamat kepolisian dari Institut for security and strategic studies (ISeSS) Bambang Rukminto, rencana ini tentu sangat menghentak nalar publik. Ia menyalin UU Polri No 2/2002 di dalam Pasal 28 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Pada Pasal 28 Ayat 3 UU Polri No 2/2002 menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. UU 2/2002 tersebut, jelas Bambang, tentunya sampai sekarang belum ada perubahan. Pilkada ini tentunya adalah arena pertarungan politik dalam ranah demokrasi.

"Apakah sebegitu 'menganggurnyakah' perwira tinggi Polri sehingga diminta menjadi plt gubernur?" ujar Bambang, Kamis (25/1).

Menyeret Polri di tengah pusaran pertarungan politik, sambung Bambang, sungguh tak elok, juga bagi Polri sendiri. Seolah, tidak ada aparat birokrasi lain di luar Polri untuk dijadikan plt gubernur.

Ia menyarankan Presiden Jokowi harus lebih bijak untuk memutuskan sebuah usulan yang jelas-jelas hanya akan menambah beban polemik yang tidak bermanfaat apapun. Di sisi lain, sebagai pemegang amanah negara sesuai UU 2/2002 Polri akan terjebak pada pragmatisme politik yang bergulir lima tahunan. Sebagai aparat negara, seharusnya Polri yang profesional harus netral dari tarik ulur politik rezim.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan alasan penunjukan dua perwira tinggi sebagai penjabat gubernur karena tingkat kerawanan daerah tersebut tidak masuk dalam logika. Sebab, menurutnya, keamanan adalah tanggung jawab kepolisian.

Masalah keamanan bukan urusan penjabat gubernur. "Itu saya kira logikanya itu harus diselaraskan ya. Bahwa untuk pengamanan itu bukan urusan plt gubernur. Plt gubernur adalah menjalankan pemerintahan. Saya kira ini mendagri harus dikritik dan harus segera merevisi itu," kata Fadli.

Politisi Gerindra itu justru menilai, bahwa penunjukan keduanya memunculkan keraguan penyelengaraan Pilkada di dua daerah yang akan menggelar Pilkada tersebut. Sebab, dua daerah tersebut terdapat calon kepala daerah yang berasal dari TNI dan Polri yang bisa memunculkan potensi konflik kepentingan di dalamnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement