Kamis 25 Jan 2018 09:08 WIB

Ini Pergerakan 'Sunyi' Gus Mus untuk Kemanusiaan

Tulisan Gus Mus yang viral di media memberikan kedamaian di masyarakat.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Ulama yang juga budayawan, KH Ahmad Mustofa Bisri menyampaikan paparan dalam Sarasehan Nasional Melawan Hoax, Mengembalikan Jatidiri Bangsa, di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/4).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Ulama yang juga budayawan, KH Ahmad Mustofa Bisri menyampaikan paparan dalam Sarasehan Nasional Melawan Hoax, Mengembalikan Jatidiri Bangsa, di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID,  Di awal tahun ini, KH Ahmad Mustofa Bisri, yang biasa disebut Gus Mus, mendapatkan Penghargaan Yap Thiam Hien 2017. Penghargaan di bidang hak asasi manusia (HAM) itu diberikan padanya karena peran Gus Mus dalam memperjuangkan HAM dan keadilan dengan cara yang damai, tanpa turun ke jalan.

"Di saat kita mau menjatuhkan pilihan, kita lihat konteks zaman yang ada," ujar Ketua Tim Juri Penghargaan Yap Thiam Hien 2017 Zumrotin K. Susilo dalam sambutannya di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (24/1).

Zumrotin menjelaskan, jika melihat kondisi Indonesia saat ini, situasi sosial politiknya dimanfaatkan oleh banyak pihak yang ingin memenangkan dirinya, kelompoknya, atau pun partainya. Banyak tokoh yang menurutnya memanfaatkan situasi tersebut, mulai dari partai politik, legislator, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

"Situasi ini yang membuat kita melihat satu sosok yang perannya strategis, tapi tidak pernah ribut seperti yang lainnya, yaitu Mustofa Bisri," sambungnya.

Gus Mus, kata Zumrotin, berpotensi untuk mengerahkan masyarakat untuk melakukan apa yang dilakukan banyak pihak tadi. Tapi, Gus Mus tidak melakukannya. Ia justru memperjuangkan HAM dan keadilan dengan cara yang damai.

"Dengan caranya, dengan tulisan-tulisan, puisi-puisi yang disusunnya. Tiap ada tulisan atau puisinya, viralnya luar biasa. Menunjukkan tulisan seperti ini yang dirindukan masyarakat, yang memberikan kedamaian di masyarakat," ungkap dia.

Zumrotin menjelaskan, Gus Mus percaya, cara tersebut merupakan cara yang terbaik. Cara yang dapat memengaruhi masyarakat, cara yang bahkan dapat mengubah tingkah laku masyarakat.

"Karena itu lima juri secara penuh memilih Bapak (Gus Mus). Bapak memang seharusnya mendapatkan suatu penghargaan yang luar biasa," jelas Zumrotin.

Karena itu, tim juri Penghargaan Yap Thiam Hien 2017 merasa sangat tepat memberikan penghargaan itu kepada Gus Mus. Zumrotin yang berdiri di depan empat juri lainnya kemudian berharap, puisi dan tulusan Gus Mus dapat mampu menciptakan kedamaian di 2018 dan 2019 ini.

Di samping itu, Ketua Yayasan Yap Thiam Hien Todung Mulya Lubis menuturkan, Gus Mus lebih dari seorang kiai, ulama, dan cendikiawan Islam. Gus Mus juga, ia anggap, sebagai seorang pejuang HAM yang menegakkan hak-hak kebebasan untuk beragama, memelihara keberagaman, dan memperjuangkan keharmonisan sosial.

"Gus Mus bukan pejuang HAM yang turun ke jalan berteriak lantang sepetyi Yap Thiam Hien atau Munir. Tetapi Gus Mus tak sekadar berdoa dan berkhutbah," kata Todung.

Menurut dia, doa dan khutbah Gus Mus menunjukkan keberpihakan yang luar biasa terhadap hak asasi beragama dan menjalankan keyakinan. Doa dan khutbahnya juga ia anggap menunjukkan penolakan terhadap pemaksaan dan pengkafiran orang yang tak sepaham.

"Saya tak mengatakan Gus Mus ini seorsng sekuler, tapi harus diakui, Gus Mus sangat menghormati setiap manusia yang memiliki keyakinan agama apa saja sejauh orang tersebut menghormati sesama, dan merawat keberagaman bersama," tutur Todung yang kemudian membacakan beberapa bait puisi Gus Mus yang berjudul "Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana".

Sang peraih penghargaan sendiri merasa tak pantas mendapatkan penghargaan tersebut. Gus Mus juga tak mengerti mengapa dewan juri memilihnya sebagai pemenang. Namun, ia tetap berterima kasih kepada Yayasan Yap Thiam Hien

"Sebenarnya saya HAM itu sendiri tidak tahu. Nasionalisme saya tidak tahu. Yang guru-guru saya ajarkan di pesantren, 'Indonesia itu rumahmu', maka saya jaga rumah saya. Sedangkan HAM itu saya baru-baru saja tahunya setelah bertemu milenial," ungkap Gus Mus.

Soal hak, ia menuturkan, guru-gurunya di pesantren juga mengajarkannya untuk lebih menyadari kewajiban daripada hak. Gus Mus pun memaknai ajaran tersebut dengan cara menghargai hak orang lain.

"Kayak apa pun bentuknya, manusia itu dimuliakan oleh Tuhan. Tuhan saja memuliakan manusia dan yang diutus oleh Tuhan adalah manusia, yang paling manusia, yang memanusiakan manusia," jelas dia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement