Rabu 24 Jan 2018 19:26 WIB

Anak-Anak Terancam Bertubuh Pendek di Sumbar

Kondisi ini dipengaruhi oleh asupan gizi yang juga terimbas dari pola hidup sehat.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Andi Nur Aminah
Anak-anak yang mengalami stunting cenderung bertubuh kerdil
Foto: BBC
Anak-anak yang mengalami stunting cenderung bertubuh kerdil

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Dua kabupaten di Sumatra Barat, yakni Pasaman dan Pasaman Barat, memiliki prevalensi anak-anak bertubuh pendek atau stunting cukup tinggi. Kondisi ini dipengaruhi oleh asupan gizi yang juga terimbas dari pola hidup sehat masyarakat setempat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar, Merry Yuliesday, mengungkapkan bahwa prevalensi anak-anak usia balita bertubuh pendek dia Pasaman sebesar 55,2 persen dan 51,54 persen untuk Pasaman Barat. "Artinya, dari 100 balita yang lahir, ada 50 balita yang tumbuh dengan risiko stunting. Kondisi ini memengaruhi tumbuh kembang anak dan berimbas seterusnya dia bisa memiliki tumbuh pendek," jelas Merry di Istana Gubernur Sumbar, Rabu (24/1).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) yang dilakukan setiap lima tahun, terdapat 15.025 balita berisiko stunting di Pasaman dan 23.435 balita di Pasaman Barat. Sementara menurut survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumbar tahun 2017, terdapat 21,5 persen balita di Pasaman yang berisiko tumbuh dengan tubuh pendek. Sementara di Pasaman Barat, angkanya 19,1 persen.

Lantas apa faktor pendorong kondisi anak bertubuh pendek di Sumatra Barat? Merry mengungkapkan, risiko anak bertubuh pendek ternyata berhulu dari minimnya fasilitas jamban di Pasaman dan Pasaman Barat. Masyarakat, lanjutnya, masih banyak yang buang hajat di sungai atau fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dengan kebersihan yang minim. Higienitas fasilitas MCK yang tidak terjamin, lanjut Merry, memicu munculnya penyakit diare atau menceret. "Berulang kali menceret, mempengaruhi asupan gizi makanan yang dikonsumsi. Dan berimbas pada tumbuh kembang yang tak maksimal," jelas Merry.

Menurutnya, risiko stunting memang tidak lepas dari kondisi budaya masyarakat. Meski secara ekonomi orang tua memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, faktor lingkungan dan higienitas fasilitas MCK yang minim tetap bermuara pada ancaman penyakit diare. "Mungkin (orang tua) ada duit untuk beli telur mencukupi gizi, namun kebersihan yang kurang ini tetap mengarah ke risiko stunting tadi," ujar Merry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement