REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.
Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9 persen dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019. Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.
Dr Damayanti Rusli S SpAK Phd anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP IDAI mengatakan, faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah satunya adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa hamil), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki. Investasi gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar.
Permasalahan gizi tidak hanya akan mengganggu perkembangan fisik dan mengancam kesehatan anak, namun juga dapat menyebabkan kemiskinan. Pertumbuhan otak anak yang kurang gizi tidak akan optimal sehingga akan berpengaruh pada kecerdasannya di masa depan. "Dengan demikian, peluang kerja dan mendapatkan penghasilan lebih bakal lebih kecil pada anak stunting," kata Damayanti dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (23/1).
Dijelaskan berdasarkan catatan Bappenas, permasalahan gizi buruk menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan. Artinya, permasalahan stunting dan gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat menengah ke atas. Penyebabnya adalah pemahaman masyarakat yang salah terkait kebutuhan nutrisi anak.
Prof Dr Dodik Briawan MCN, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB menambahkan, intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi secara berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua. Orang tua harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak terpengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang menjanjikan hal yang berlebihan, ujar Dodik Briawan.
Dijelaskan, kesalahan dalam memberikan asupan makanan pada anak dapat beresiko bagi masa depan bangsa. Seperti halnya awal 2018 ini, di Kendari ditemukan balita menderita gizi buruk akibat diberi susu kental manis akibat ketidaktahuan orang tua. Selain itu di Wamena baru-baru ini juga ditetapkan Kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk yang sudah memakan korban jiwa. "Intervensi berupa bantuan pangan dibutuhkan, namun edukasi untuk masyarakat tak boleh dilupakan," tambahnya.
Siti Masrifah Chifa, anggota komisi IX DPR RI, menilai penanganan gizi buruk yang dialami anak-anak saat ini harus segera menjadi prioritas pemerintah, hal ini terkait dengan masa depan anak yang kelak menjadi estafet pembangunan bangsa ini. "Tantangan pemerintah saat ini cukup besar, tingginya angka stunting menjadi indicator tingginya kejadian gizi buruk di negara ini," jelasnya. Dia berharap. pemerintah mulai menggalakan program-program penanganan gizi buruk yang melibatkan masyarakat secara luas.