Rabu 24 Jan 2018 07:04 WIB

Dinilai Diskriminasi Disabilitas, KPU Diminta Revisi SK

SK Nomor 231 KPU diminta direvisi selambatnya pada 12 Februari mendatang

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Bilal Ramadhan
Penyandang disabilitas dibantu petugas untuk menggunakan hak suaranya. (ilustrasi)
Foto: Aditya Pradana Putra/Republika
Penyandang disabilitas dibantu petugas untuk menggunakan hak suaranya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas Dra. Hj. Ariani Soekanwo meminta KPU Merevisi SK No. 321 KPU. Pernyataan tersebut disampaikan saat penyerahan pernyataan sikap PPUA Disabilitas kepada anggota Komisioner KPU Pusat Ilham Saputra pada Senin (22/1) siang di kantor KPU, Jakarta.

"Kami meminta KPU Pusat melakukan revisi atas SK No. 231 KPU, selambatnya 12 Februari 2018 atau sama dengan sebelum masuk dalam tahapan penetapan pasangan calon dalam Pilkada 2018," ujar Ariani dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (23/1).

Ia menegaskan bahwa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas lebih tinggi dari terminologi disabilitas-medis atau kedokteran yang menjadi acuan SK KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani, Rohani serta Standar Pemeriksaan Kesehatan jasmani, Rohani dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pilkada.

Pernyataan sikap ini disampaikan agar asas penyelenggaraan Pilkada 2018 aksesibel dan menjamin adanya kesamaan hak dan kesempatan bagi semua warga negara. Termasuk di dalamnya bagi penyandang disabilitas untuk melaksanakan hak politiknya, yakni hak untuk memilih, hak untuk dipilih serta hak untuk menjadi penyelenggara Pemilu.

Heppy Sebayang yang merupakan rekan disabilitas Ariani hadir dan membacakan pernyataan sikap PPUA Disabilitas. Dirinya sangat berharap agar KPU menindaklanjutinya agar tidak terjadi permasalahan lebih lanjut terkait pelaksanaan Pilkada.

"SK KPU No. 231 harus segera direvisi agar proses pencalonan pilkada memberikan kesempatan kepada disabilitas dan tidak melanggar ketentuan hukum yang lebih atas," ujar Ketua 1 PPUA Disabilitas ini.

Ia juga mengatakan bahwa keputusan KPU dalam pengambilan keputusan seorang calon kepala daerah dinilai memenuhi syarat atau tidak seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi kesehatan saja. Seharusnya dalam penilaian dimasukkan sebuah tes yang lebih menilai kepada kemampuan calon kepala daerah dalam melakukan observasi, menganalisis, dan membuat keputusan serta mengkomunikasikannya, bukan sekadar standar medik yang sifatnya fisik sebagaimana ditentukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Sementara komisioner KPU Ilham Saputra merespon pernyataan sikap yang disampaikan PPUA Disabilitas bahwa ketentuan yang ada di SK Petunjuk Teknis (Juknis) KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 semata karena KPU khilaf. Ia berkata akan memastikan KPU untuk membuka akses sebesar-besarnya kepada penyandang disabilitas untuk bekerjasama dengan KPU agar tidak ada lagi ketentuan dalam Pilkada yang mendiskriminasi para penyandang disabilitas.

"Tidak ada sama sekali kesengajaan dalam membuat SK Juknis ini. Kelalaian terjadi karena banyaknya pekerjaan KPU. Prinsipnya kami siap merevisi SK 231 ini. Kami segera merevisi, agar penyandang disabilitas kembali mendapat akses publik," kata Ilham.

Ia juga menyatakan akan menyesuaikan terminologi disabilitas versi kedokteran atau medik dengan terminologi yang menjadi ketentuan yang ada di dalam UU Disabilitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement