REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Surat Keputusan KPU Nomor 231/PL.03.1- KPT/06/KPU/XII/2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani dan Rohani serta Standar Pemeriksaan Kesehatan Jasmani, Rohani, dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Keputusan KPU ini merupakan penafsiran dari syarat kemampuan jasmani dan rohani yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Sunanto surat keputusan yang dikeluarkan oleh KPU tersebut sangat mengancam hak politik penyandang disabilitas. "KPU memasukan disabilitas dalam kategori tidak memiliki kemampuan jasmani dan rohani utnuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota," papar Sunanto dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (23/1).
Dia menuturkan bahwa hal tersebut dapat berakibat pada penyandang disabilitas tidak dapat memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Padahal, merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pada pasal satu (1) menjelaskan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Selain itu, dalam pasal 13 UU No 8 Tahun 2018 menjelaskan tentang hak politik penyandang disabilitas, seperti memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik, memilih partai politik atau individu, membentuk atau menjadi anggota atau pengurus partai politik atau organisasi masyarakat, membentuk atau bergabung atau mewakili OPD, berperan serta dalam kepemiluan, memperoleh aksesibilitas dalam pemilu dan mendapat pendidikan politik.
"JPPR menilai, keputusan KPU juga telah salah memaknai penyakit dan disabilitas, yang pada dasarnya adalah berbeda. Disabilitas adalah keunikan yang dimiliki oleh seseorang, sehingga bukanlah kondisi yang perlu disembuhkan selayaknya suatu penyakit," lanjutnya.
Dia berpendapat bahwa orang dengan disabilitas harus dipandang memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas sehingga harus diberikan kesempatan yang sama dengan warga negara non-disabilitas. Namun dengan stigma negatif, penyandang disabilitas kerap dipandang sebagai barang rusak yang tidak berfungsi dengan baik hingga harus diperbaiki. "Stigma negatif inilah yang memandu munculnya bentuk diskriminatif terhadap penyandang disabilitas," katanya.
Untuk itu, JPPR mendesak KPU segera melakukan revisi terhadap keputusan KPU nomor 231/PL.03.1- Kpt/06/KPU/XII/2017, terkait menafsirkan syarat mampu jasmani dan rohani yang tercantum dalam BAB II. "Dalam penyusunan standar mampu jasmani dan rohani, KPU tidak bisa hanya melibatkan kelompok-kelompok medis, tetapi juga harus melibatkan kelompok penyandang disabilitas," kata Sunanto.