Selasa 23 Jan 2018 16:07 WIB

Denny JA: Ini Era Kebangkitan Penyair Indonesia

Semua penyair dan penulis dalam 34 buku itu menggunakan medium yang sama: puisi esai.

Denny JA
Foto: wikipedia
Denny JA

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 170 penyair, penulis, peneliti, jurnalis dari 34 provinsi bangkit bersatu dalam serial karya 34 buku. Satu buku satu provinsi mengekspresikan lima kisah batin  bersandar pada isu sosial provinsi itu.

"Semua penyair dan penulis dalam 34 buku itu menggunakan medium yang sama: puisi esai. Ini puisi yang sangat panjang minimal 2.000 kata. Ada drama di dalamnya selayaknya cerpen. Ada pula catatan kaki selayaknya makalah," ujar Denny JA dalam siaran persnya, Selasa (23/1).

Denny mengungkapkan, catatan kaki itu untuk referensi bahwa isu sosial yang ditampilkan dalam puisi adalah kisah nyata. Ini semacam historical fiction di dunia puisi. Namun yang utama, puisi ini tetap fiksi yang mengekspresikan sisi batin manusia.

Denny mengungkapkan telah menuliskan serial tulisan yang mereview isu pada setiap puisi. "Sudah siap terbit 18 provinsi lengkap. Yang lain masih dalam proses edit. Saya terpana oleh luasnya dan kayanya batin Indonesia dari Papua hingga Aceh," katanya.

Dari Aceh, misalnya, hadir puisi yang menggambarkan luka seorang pelaku akibat konflik pemerintah verus gerakan aceh merdeka. Dari Papua, terkisah seorang ayah di suku Konawai yang berjalan melintas hutan 10 jam untuk membawa anaknya. Sang anak sakit perlu ke dokter terdekat.

Di Yogyakarta, ada puisi kisah dilema keluarga keraton. Anak Hamangkubuwono X punya peluang menjadi Ratu. Tapi ia seorang wanita. Keraton Yogya tak pernah punya ratu. Atau dari Kalimantan, ada puisi soal sulitnya adaptasi keluarga. Ia terbiasa hidup di wilayah perairan dengan mistik laut. Kini ia  dipindahkan harus hidup di darat.

Menurut Denny, apa tiga hal yang besar dalam kebangkitan para penyair itu. Pertama, mereka berkarya yang membuat puisi melampaui fungsi tradisionalnya. Siapapun yang ingin belajar soal budaya Indonesia dari Aceh hingga Papua terbantu oleh 34 buku puisi esai dari 34 propinsi.

Kedua, ini gerakan sastra yang bercorak civil society. "Mereka bekerja mandiri, tanpa bantuan pemerintah, tanpa dana asing dan konglomerat. Mereka membangun jaringan sendiri, mendanai sendiri untuk karya bersama," tutur Denny.

Ketiga, gerakan ini membangkitkan penulis lokal. Bukan orang pusat yang menulis. Tapi para penyair dan penulis lokal provinsi itu sendiri yang menuliskan kisah. Panitia hanya menjadi fasilitator saja.

Soal adanya petisi sastra yang meminta program ini dibatalkan dan diboikot, Denny hanya tersenyum. "Mereka yang anti program ini tanpa sadar menjadi marketing gratis yang justru membuat karya bersama ini menjadi perhatian," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement