REPUBLIKA.CO.ID, Ketika menginjak kaki pertama kali di Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat, Papua, ada pemandangan berbeda jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di wilayah Indonesia.Kebanyakan kota-kota dan desa-desa di Indonesia selalu disuguhin suara bising dan kepulan asap dari motor dan mobil, namun hal itu tidak ditemukan di kota ini.
Memang banyak berseliweran motor-motor yang dikendarai para warganya, tapi tidak bersuara dan berasap karena digerakkan oleh listrik. Ada suara berisik muncul dari bunyi bel dan suara berisik ketika ban motor-motor itu melewati sela-sela beton yang goyang tau papan kayu karena seluruh jalan yang ada dibangun di atas panggung.
Uskup Keuskupan Agats, Mgr Aloysius Murwito mengatakan, ide awal penggunaan motor listrik sebagai transportasi warga karena melihat kondisi jalan di seluruh Kota Agats yang terbuat dari papan yang dibangun di atas panggung. "Kondisi jalan waktu itu hanya dari kayu dan sempit, sehingga tidak kuat jika dinaiki motor-motor bensin yang berat," katanya.
Dia mengakui, pada awalnya ada motor bensin, namun sulitnya mencari bahan bakar motor (BBM) telah menjadi kesepakatan bersama hanya motor-motor bertenaga listrik yang diperbolehkan beroperasi. Uskup Murwito mengakui, saat ini sudah ada jalan yang sudah dibeton, namun lebar jalan yang tidak lebih dari tiga meter ini membuat kesepakatan ini berlanjut hingga saat ini.
Motor-motor listrik ini didatangkan dari Kota Surabaya, Jawa Timur, namun mereka tidak mau menyebut berapa kisaran harga beli yang harus dikeluarkan hingga sampai ke Agats. Sedangkan untuk mobil, baru hanya dua yang digunakan untuk ambulans di RSUD Kabupaten Asmat.
"Memang dulu Bupati yang lama menggunakan mobil golf untuk dinas, tapi bupati sekarang menggunakan motor saat menjalakan tugasnya," kata Murwito.
Kondisi alam Kabupaten Asmat yang di atas rawa, membutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur jalan. Dengan kondisi alam tersebut dan sebagaian besar warganya hidup di pinggir sungai, Murwito mengusulkan, dikembangkan transportasi air yang murah sehingga bisa memudahkan mobilisasi warganya.
"Dalam membangun Papua, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah membangun Trans Papua, tetapi khusus Asmat sebaiknya dipikirkan manajemen transportasi air yang murah," kata Murwito.
Bupati Asmat Elisa Kambu mengatakan perjalanan dari Bandara Ewer ke Kota Agats yang menempuh waktu 20 menit harus menghabiskan bahan bakar sekitar 30 liter dengan menggunakan perahu cepat (speed boat). "Ini kan mahal, berapa masyarakat harus membayar," kata Kambu.
Kambu mengakui, tidak terdapat akses darat yang menghubungkan satu distrik dengan distrik yang lain. Kendaraan yang umum dipakai oleh masyarakat adalah kapal cepat dengan mesin motor, bahkan masih ada masyarakat lokal yang mengendarai kole-kole (sampan kayu dengan dayung panjang) untuk dapat pergi dari satu kampung ke kampung lainnya atau menuju ke hutan untuk mencari sagu ataupun gaharu.
Orang Asmat dikenal hidup di rawa-rawa di sepanjang sungai selatan Papua yang dikenal sebagai masyarakat peramu dan pemburu. Mereka pada umumnya meramu hutan sagu yang masih melimpah dan mengandalkan sungai untuk memancing ikan sebagai bahan kehidupannya.
Kambu mengakui, masih sebagian kecil masyarakat yang sudah beralih berkebun, karena kondisi alam yang selalu ditutupi air. Bupati Asmat ini mengungkapkan, untuk ke daerahnya hanya dua pintu masuk, yakni melalui udara dari Timika dengan menggunakan pesawat kecil, karena Bandara Ewer yang sebelumnya hanya memiliki panjang landasan pacu 600 meter.
"Sekarang sudah kita perpanjang menjadi 1.200 meter sdang dalam pengerjaan. Bahkan dulu landasan lempeng baja, ketika hujan pesawat tidak bisa mendarat," ungkapnya.
Selain itu, masuk Asmat melalui jalur Laut dengan menggunakan kapal, Tual, Merauke, Timika bahkan dari Surabaya. Dengan kondisi inilah, Bupati Asmat ini mengakui bahwa masyarakat masih tertinggal jauh dengan wilayah Indonesia lainnya.
"Orang Asmat kan baru berhubungan dengan dunia luar sekitar tahun 1953 yang ditandai datangnya misionaries Belanda (pastor Zegwaard)," kata Kambu.
Hal ini berbeda dengan masyarakat Jawa yang sudah berabad-abad berhubungan dengan dunia luar. Namun, pihaknya optimis bisa merubah beradaban masyarakatnya dari kehidupan peramu ke beradaban modern.
Bupati Asmat mengakui, perlu ada pendampingan agar masyarakat Asmat mengubah pola hidupnya untuk bisa hidup dengan layak dan memperhatikan kesehatan. Dia yakin dengan pembangunan infrastruktur yang akan membuka akses Asmat dengan dunia luar akan bisa mempercepat proses peradaban yang lebih baik.
Pada awalnya, Kabupaten Asmat merupakan salah satu distrik yang berada di wilayah Kabupaten Merauke, Papua. Pada tahun 2004, Kabupaten Asmat secara resmi terbentuk terdiri dari hanya enam distrik dan pada saat ini telah berkembang menjadi 23 distrik.
Daerah ini memang sudah dikenal dunia dengan seni pahatan dan ukir-ukiran kayunya yang khas telah mengangkat nama Asmat. Masyarakat Asmat secara turun temurun memang menekuni seni yang dulunya digunakan sebagai pelengkap upacara saja.