Ahad 21 Jan 2018 10:11 WIB

Menelisik Dikotomi Islam dan Pancasila

Dikotomi Islam Pancasila tak relevan lagi, tapi ada yang diuntungkan isu ini. Siapa?

 Sejumlah petani mengikuti upacara bendera memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI di areal persawahan Desa Ngimbrang, Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, Senin (17/8).   (Antara/Anis Efizudin)
Sejumlah petani mengikuti upacara bendera memperingati HUT ke-70 Kemerdekaan RI di areal persawahan Desa Ngimbrang, Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, Senin (17/8). (Antara/Anis Efizudin)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Amri Amrullah, Fergi Nadira B

Islam, Indonesia, dan Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perjuangan kemerdekaan banyak negara di Asia-Afrika --bahkan di Indonesia-- merupakan kolaborasi solid antara cinta kepada Islam dan Tanah Air.

Islam pun memberikan andil besar dalam membumikan Pancasila sebagai salah satu pilar utama berbangsa dan bernegara. Perkawinan terindah dalam sejarah bangsa ini terjadi ketika Islam, Nusantara (kebangsaan), dan Pancasila menyatu. Seharusnya, itu sudah tidak lagi menjadi persoalan.

Pertanyaanya sekarang, mengapa masih ada kelompok atau individu yang mencoba mempersoalkan adanya dikotomi Islam dan Pancasila? Bahkan, isu pinggiran ini begitu menguat didengung-dengunkan ketika Pilgub DKI berlangsung. Isu ini pun terus bertiup kencang sesudah prosesi Pilgub DKI selesai. Siapa yang diuntungkan dari menguatnya isu dikotomi Islam dan Pancasila ini?

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menegaskan, umat Islam di Indonesia tidak pernah mendikotomikan Islam dan keindonesiaan. Ia mensinyalir, dikotomi itu dibuat oleh mereka yang fobia terhadap Islam. "Pandangan seperti itu bukan berasal dari umat Islam," kata Hidayat.

Hal ini diungkapkan Hidayat saat menyampaikan 'Sosialisasi Empat Pilar MPR' sekaligus menghadiri rapat koordinasi nasional (Rakornas) Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) di Medan, Sumatra Utara, Jumat (19/1). Dihadapan 300 guru yang tergabung dalam JSIT ini, Hidayat mengungkapkan upaya untuk mendikotomikan Islam dan keindonesiaan masih terus terjadi.

Dia tidak setuju dengan adanya pemisahan antara Islam dan Indonesia. Hidayat mengatakan, seolah-olah Islam anti-Pancasila dan anti-NKRI. Padahal, sejarah tidak menunjukkan asumsi seperti itu. Ada kesalahan logika serius atau semacam tuna-sejarah jika masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan Islam dan Pancasila.

 

Sebaliknya, dengan adanya dikotomi itu, ada kalangan Islam merasa umat Islam terpisah dari Indonesia. Dari situ kemudian muncul istilah thogut, kafir, seolah-olah Indonesia terpisah dari Islam lantas mereka berpikir tentang (ideologi) negara yang lain.

Mantan Presiden PKS ini menegaskan keindonesiaan adalah juga keislaman. Ini bisa dilihat dari bukti keterlibatan umat Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran, para tokoh, dan pemimpin Islam.

Peran tokoh Islam seperti KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakar, Moh Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya, yang menyepakati tentang sila-sila pada Pancasila serta keindonesiaan. "Inilah yang perlu disampaikan kepada generasi zaman now. Karena generasi zaman now seringkali tidak paham," jelas Hidayat.

Tokoh-tokoh bangsa dari Sumatra Barat, misalnya, memiliki keilmuan dan kesalehan tinggi terhadap Islam. Sebut saja KH Ahmad Dahkan, Agus Salim, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Buya Hamka, hingga Imam Bonjol merupakan 'santri-santri' yang mengedepankan kebangsaan dan kesatuan bangsa dalam pandangan ideologisnya. Mereka Islam yang sejak kecil mereka pelajari namun tidak berpikir memisahkan Islam dari kebangsaaan. Mereka semua ini pejuang bangsa yang ikut memerdekaan bangsa ini dari penjajah.

Hidayat berharap ke depan tidak ada lagi pemikiran yang mendikotomikan keindonesiaan dan keislaman. Dia meminta tak ada upaya untuk mengadu-domba antara umat Islam dan negara.  Adu domba seperti itu hanya menguntungkan mereka yang antinegara. "Siapa saja yang termasuk di dalamnya? Yaitu, kelompok LGBT, liberalis, separatis, dan komunis," kata Hidayat.

Pandangan Romo Magnis

Tokoh Kebangsaan Romo Franz Magnis Suseno menilai tidak ada dikotomi Islam dan keindonesiaan di Nusantara ini. Mungkin, menurutnya, yang dimaksud adalah ketidaksukaan dengan bentuk-bentuk keagamaan beberapa wakil agama. "Semisal ada orang katolik tidak suka apa yang dikatakan Pastor," ujarnya.

Di zaman ini, zaman yang kata kebanyakan orang adalah zaman now, Romo tidak melihat bahwa mereka anti-beragama. Kalau pun ada, ia menilai seperti ada intensifikasi kehidupan beragama di Indonesia ini. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018.

Romo Magnis mengingatkan, masyarakat jangan membawa emosi dalam pemilihan kepala daerah. "Kalau kita memilih kepala daerah, mbok yo pilih kepala daerah yang bisa diharapkan akan memajukan daerah itu seperti mengurangi kemiskinan dan sebagainya," ujar Romo Magnis.

Bukan memilih orang yang dekat dengan aliran 'saya'. Bisa berhaya jika pemilihan didasarkan kedekatan aliran atau golongan yang sama.

Almarhum Taufiq Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk sosok yang begitu aktif menolak adanya dikotomi Islam dan nasionalisme. Ia yang keturunan keluarga politisi ternama Masyumi di Sumatra Selatan memilih jalan GMNI dan PDIP sebagai wadah perjuangan untuk menolak dikotomi Islam dan kebangsaan.

Sosok seperti mantan Presiden Sukarno, Agus Salim, Natsir, dan lainnya menjadi model peran Kiemas dalam menjalankan misi besarnya mempererat Islam dan nasionalisme. Setiap orang yang cinta Tanah Air, sudah pasti nasionalis. Dan, sudah pasti Islamis. Setiap orang yang ingin mensejahterakan bangsa, sudah pasti nasionalis, dan tentu Islamis.

Islam, prinsip jalan tengah

Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin menyatakan dunia memeprtimbangkan Prinsip Jalan Tengah yang diterapkan oleh Indonesia. Din dalam Diskusi Meja Bundar di Oxford Centre for Islamic Studies, Universitas Oxford, Inggris, Senin (18/12), menyatakan jika Islam dan Pancasila memang berbeda, tapi tetap menyatu.

Islam merupakan agama berdasarkan wahyu Tuhan dan Pancasila sebagi ideologi buatan manusia. Namun keduanya ternyata memiliki kesamaan sebagau Prinsip Jalan Tengah.

Dalam pemaparan "The Middle Path: Islam and Pancasila for the World Civilization", Din menjelaskan kesamaan itu muncul kafrena Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkup kehidupan bernegara. Sebagai agama wahyu terakhir, Islam membawa prinsip kesempurnaan wahyu keseimbangan dan kemaslahatan kemanusiaan.

Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta ini menjelaskan, Prinsip Jalan Tengah Islam (wasathiyah) inilah yang menjadikan umat Islam sebagai Umat Tengahan (ummatan wasathan). Umat yang menekankan prinsip keseimbangan, moderasi, toleransi, dan anti-ekstrimitas. Begitu pula Pancasila di mana ada nilai keseimbangan antara orientasi ketuhanan dan kemanusiaan.

Wawasan Jalan Tengah ini, menurut Mantan Ketua PP Muhamadiyah itu, sangat cocok buat peradaban dunia yang rusak beberapa waktu belakang lantaran terjebak ke dalam ekstrimisme. Sistem Dunia selama ini sangat berwajah antroposentristik, yakni menjadikan manusia sebagi pusat kesadaran dan kurang berwajah teosentristik yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat kesadaran.

Akibatnya, peradaban manusia sepi dari nilai-nilai etika dan moral.Secara tidak langsung, jika terus menggunakan konsepantroposentristik menciptakan berbagai bentuk ketiadaan damai, seperti kemiskinan, kebodohan, ketakadilan, kerusakan lingkungan hidup, dan berbagai bentuk kekerasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement