Rabu 17 Jan 2018 01:00 WIB

Kisah KIPI Sang Anak Tiri Negeri dan Era Baru Vaksin

19 Juta anak belum menerima vaksinasi dasar
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Dokter menyuntikkan vaksin campak dan rubella (measles and rubella/MR) kepada anak dengan faktor risiko kondisi ikutan pascaimunisasi di RSUD dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (23/8).

Anak-anak bukan kelinci percobaan

Kemarahan Noura juga dituangkan di akun sosial medianya. Ia menekankan, "Ingat. Anak-anak bukan kelinci percobaan suntikan. Bila kalian menghargai kami para orangtuanya, kenapa sebelumnya tak diberi tahu? Legalkah tindakan kalian? Bila kalian sulit tuk diadili dengan hukum, ingat aku seorang ibu. Apapun akan ku lakukan untuk menebus sakit ini," sesal Noura, 12/1/2018.

Ia pun berharap, instansi terkait terketuk hatinya. Noura terus berpesan, "Anak-anak bukan kelinci percobaan. Saya minta vaksin jangan dilakukan dengan memaksa. Silakan lihat FB ku, biar kamu bisa rasain apa yang ku rasain," tekan Noura, yang akun Fb nya bernama: Noura Karawang Karawang. Saya pun hanya bisa diam. Memberi kesempatan Noura menumpahkan murkanya.

Ike Angeline, aktivis kemanusiaan, membeber data banyaknya korban KIPI. Mereka sakit sampai wafat tak lama vaksin. Tapi, tak pernah diakui sebagai KIPI. Baik sejak vaksin MR, juga vaksin difteri. Saat ditunjukan data itu, saya bisa menganga. La haula walla quwatta illa billah. 

Bahkan, tak lama kematian anak Noura setelah empat hari mendapat vaksin difteri, publik dikejutkan lagi dengan berita di Tulung Agung, Jawa Timur. Sebanyak 86 siswa menderita mencret, diare dan pusing secara bersamaan, setelah mendapat vaksin difteri.

Informasi ini dipublikasikan Tulungagungtimes, 13/1/2018, dengan berita berjudul: Pasca Vaksinasi Difteri, Hampir 100 Siswa Jatuh Sakit dan Alami Gejala Ini.

Kala itu, para siswa di Yayasan sekolah swasta Sabilul Muhtadin Desa Pakisrejo Kecamatan Rejotangan, Tulung Agung, mentaati program vaksin difteri. Tapi, ketika mereka menderita sakit secara bersamaan, cuaca dijadikan kambing hitam. Kalau cuaca jadi penyebab, kenapa hanya mereka yang disuntik vaksin difteri yang menderita penyakit serupa? Kenapa tidak seluruh warga di sana?

Para orangtua korban meminta investigasi itu diumumkan dengan jujur dan terbuka. Kenapa hanya di Indonesia korban KIPI usai vaksin tak pernah diakui? Bahkan, dalam Permenkes 12/2017, tidak ada kompensasi khusus bagi KIPI.

Padahal, WHO sendiri mengakui adanya efek samping vaksin. Di Eropa, korban KIPI diakui, diberi kompensasi. Begitu pula di negara lain. Bahkan, di Filipina, baru menelan tiga korban, vaksin langsung ditarik. Pihak terkait vaksin diinvestigasi, menjalani proses hukum. Produsen vaksin didenda.  

 

Dalam perseteruan di pengadilan vaksin/Vaccine Court/The Federal Vaccine Injury Compensation Fund, Pemerintah US sendiri saat ini harus membayar jutaan dollar akibat kekalahan demi kekalahan yang terus dialami, yaitu:

Pemerintah US versus orang tua Hannah Poling dengan nilai ganti rugi sebesar USD 1,504,284.6716 atau sekitar Rp 15.668.629.122,72; Pemerintah US versus orang tua Bailey Banks dengan nilai ganti rugi sebesar medical record dari dokter. Lalu, Pemerintah US versus orang tua Richelle Oxley berupa penggantian biaya hidup Richelle setiap tahun.

Selanjutnya, Pemerintah US versus orang tua Ryan Mojabi USD 969.474,9119 atau sekitar Rp 10.098.050.662,56. Begitu pula Pemerintah US versus orang tua Emily Lowrie USD 1.030.314.2219atau sekitar Rp 731.752.915,52.

Korban KIPI atau cedera vaksin, adalah anak-anak tiri negeri ini. Mereka mentaati anjuran pemerintah untuk imunisasi. Bahkan, dengan sukarela membeli ratusan ribu sampai jutaan rupiah vaksin tambahan di toko kelontong vaksin, yang dimiliki beberapa oknum dokter.

Tapi, ketika menjadi korban cedera vaksin, mereka ditinggalkan. Bahkan dihina, dicaci, dibully. Anehnya, pembulian terhadap ibu yang mengeluhkan anaknya menjadi korban KIPI selalu terjadi massif. Seperti terorganisir. Siapa di belakang mereka?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement