REPUBLIKA.CO.ID, Hampir tiap pagi, Elly Mulyani (32 tahun) harus mengantre untuk buang air be sar (BAB) di toilet umum. Ia harus bergantian dengan warga RT 03 RW 02 Kelurahan Gudang, Bogor Tengah, lainnya. Waktu tunggu semakin lama ketika satu dari dua toilet yang tersedia tengah rusak akibat mampet.
Rutinitas antre di toilet umum sudah dija lani Elly sejak remaja. Sebab, di rumahnya tidak tersedia jamban dan tangki septik. Hanya ada sepetak kamar mandi yang biasa digunakan untuk mandi ataupun cuci baju. "Kalau mau pipis atau BAB, biasanya di luar (rumah)," ujar ibu beranak satu saat ditemui Republika.co.id, Sabtu (13/1).
Saat masih kecil, Elly kerap dibawa sang ibu ke Kali Pakancilan yang terletak kurang 100 meter dari rumahnya untuk buang air kecil ataupun BAB. Bukan saja untuk BAB, Elly dan teman-temannya juga mandi di kali itu. Perempuan paruh baya mencuci baju dan orang-orang tengah menyikat gigi juga sudah menjadi pemandangan biasa yang dilihat Elly ketika itu.
Menginjak remaja, Elly berpindah tempat ke toilet masjid yang berada di dekat rumah. Tapi, karena bergiliran dengan warga RW 08 dan RW 09 yang juga tidak memiliki jamban, Elly kerap kembali BAB di Kali Pakancilan. "Sudah terbia sa dari dulu, jadi gimana ya?" Elly tersenyum.
Menurut Elly, kebiasaan itu 'diwariskan' secara turun temurun dari generasi sebelum nya. Bahkan, kebiasaan BAB di Kali Pakacitan tetap dilakukan warga setempat setelah ada dua bilik toilet umum yang dibangun di dekat posyandu.
Meski begitu, tidak ada keluhan dari masyarakat terkait kesehatan. Sakit kulit maupun pencernaan yang kerap dituding akibat dari BAB sembarangan hampir tidak pernah terjadi di lingkungannya. Kalaupun ada, hanya muntah berak (muntaber) yang disebabkan makanan tidak higienis.
Kebiasaan BAB di kali memang tidak terle pas dari tidak adanya fasilitas. Toilet umum yang kini sudah tersedia hanya berjumlah dua bilik. Sedangkan, total penggunanya mencapai 100 kepala keluarga (KK) yang merupakan war ga RT 03 dan 04.
"Di dua RT ini, hanya se kira 15 KK yang punya jamban di rumah," kata Elly. Menurut dia, aparatur setempat sudah kerap menyampaikan keluhan terkait keberadaan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) komunal ke Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Tapi, sampai saat ini, belum ada balasan positif.
Ketiadaan MCK komunal juga yang menjadi alasan Syafrudin (45 tahun), warga RT 04 RW 08 Kelurahan Gudang, buang hajat ke Kali Pakacitan. Sayfrudin mengaku, tidak ta han jika harus mengantre di toilet umum. "Ya mau nggak mau ke kali," kata lelaki yang ber dagang minuman dingin di teras rumahnya.
Bukan keinginan bapak dari dua anak ini un tuk tidak memiliki jamban di rumah. Pendapatan yang tak tentu membuatnya selalu me ngurungkan niat untuk membangun MCK pribadi.
Kondisi serupa juga terjadi pada Kelurahan Kebon Kalapa. Menurut Lurah Kebon Kalapa, Nana Sumarna, perilaku BAB sembarangan yang masih dilakukan masyarakatnya tidak ter lepas dari ketiadaan fasilitas MCK komunal. Fasilitas ini dibutuhkan warga mengingat sebagian besar masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.
Namun, Nana mengatakan, perilaku ter sebut tidak hanya dilakukan warga Kebon Ka lapa. Tidak sedikit masyarakat pendatang yang buang hajat di sembarang tempat, ter masuk kebun. "Kadang, ada tukang becak atau warga dari luar sini yang melakukannya," kata Nana.
Kelurahan Kebon Kalapa juga aktif melakukan sosialisasi guna mengantisipasi perilaku BAB sembarangan. Namun, upaya edukasi tersebut tidak akan berjalan maksimal apabila warga tidak dibe rikan fasilitas MCK secara langsung. "Mereka tentu ingin yang real, nyata. Yaitu dengan di bangun sarana MCK komunal," ujar Nana yang sudah mengajukan fasilitas MCK komunal ke Pemkot Bogor untuk RW 01 dan RW 10.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor men catat, sebanyak 84 persen RW atau sekira 655 RW di Kota Bogor belum memenuhi syarat dalam pemakaian jamban secara 100 persen. Artinya, warga di daerah tersebut masih BAB sembarang, baik di kebun ataupun aliran air sungai.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengen dalian (P2P) Dinkes Kota Bogor Lindawati me ngatakan, penyebab utama dari perilaku BAB sembarangan adalah faktor kemiskinan. De ngan pendapatan terbatas, masyarakat tidak sanggup membangun kakus untuk buang hajat. "Dampaknya, mereka memutuskan ke kebun atau kali," katanya.