Jumat 12 Jan 2018 17:23 WIB

Kaum Hawa yang Tersisih di Pilkada

Pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Puti Guntur Soekarno mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur.
Foto: Dadang Kurnia
Pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Puti Guntur Soekarno mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur.

Oleh: Amri Amrullah, Fauziah Mursid

Anggaran disebut jadi kendala perempuan mencalonkan diri di pilkada.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Statistiknya tak banyak berubah. Sejak Pilkada Serentak mulai digulirkan pada 2015 silam, para bakal calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah selalu jauh dari capaian kuota perwakilan yang ideal. Tahun ini, dengan jumlah 101 orang dari 1.146 bakal calon, persentasenya sekira 8,8 persen, tak sampai sepertiga dari kuota keterwakilan yang ideal sebesar 30 persen.

Ia naik sedikit saja dari Pilkada Serentak 2017. Saat itu, dengan total 44 perempuan dari 614 kandidat, persentasenya sebesar 7,2 persen. Sementara pada Pilkada Serentak 2015, ada 123 bakal calon perempuan dari 1.646, atau sekira 7,4 persen.

Tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, hingga Jumat (12/1) sebanyak tujuh bakal calon perempuan mendaftar untuk pemilihan gubernur. Dua di antaranya sebagai calon gubernur, yakni Khofifah Indar Parawansa sebagai calon gubernur (cagub) Jatim dan Karolin Margaret Natasa sebagai cagub Kalimantan Barat.

Sedangkan, tujuh calon perempuan lain dicalonkan sebagai calon wakil gubernur (cawagub). Jumlah calon perempuan terbanyak menurut data KPU ada di pemilihan bupati (pilbup) dengan 31 cabup dan 27 cawabup. Sedangkan di tingkat wali kota, calon perempuan sebagai calon wali kota 16 orang dan calon wakil wali kota 20 orang. 

"Angka ini masih jauh dari keterwakilan perempuan," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto kepada Republika.co.id, Kamis (11/1).

Stagnansi keterwakilan perempuan ini sedianya tak sedemikian sejalan dengan capaian mereka. Pada dua pilkada serentak sebelumnya, secara proporsional jumlah kemenangan para calon perempuan sedianya menggembirakan. Pada 2015, misalnya, sebanyak 35 calon perempuan dari 123 orang terpilih atau setara 28 persen. Pada 2017, 13 dari 44 terpilih atau senilai 29,5 persen.

Rendahnya keterwakilan perempuan tahun ini juga bukan sekadar statistik. Nada yang mengiringi para calon perempuan juga masih lekat bias gender tertentu. Saat Puti Guntur Soekarno ditunjuk menjadi pendamping calon gubernur Jatim Saifullah Yusuf (Gus Ipul), misalnya, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan menyebutnya sebagai calon yang “cantik dan muda”.

Sementara Puti sendiri berkomentar soal faktor lain penunjukannya. "Benang merah kesejarahan itu melekat di kita berdua. Gus Ipul sebagai cicit dari pendiri bangsa, sekaligus pendiri Nahdlaul Ulama, KH Hasyim Asyari. Dan tentunya saya sebagai cucu dari Bung Karno yang sama-sama saat itu berjuang bersama untuk kemerdekaan bangsanya," ujar Puti selepas mendaftar di KPU Jatim, Rabu (10/1).

Pandangan senada juga disampaikan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto saat mengumumkan penunjukan politikus PKB Ida Fauziyah sebagai pendamping calon gubernur Jawa Tengah Sudirman Said. "Saya sangat optimis, saya merasakan suasana positif, energi positif kekuatan ibu-ibu, kekuatan emak-emak, saya kira ini sesuatu yang sangat positif di negara kita," ujar Prabowo di kediamannya, Selasa (9/1) malam.

Tak ada afirmasi

Apa pasal keterwakilan perempuan sedemikian minim? Politikus PPP Lena Marliana menilai, salah satunya karena kebijakan afirmasi perempuan saat ini tak lagi menjadi pertimbangan partai politik dalam mengusung calon. Yang terpenting, kata dia, terkait survei dan juga elektabilitas calon yang diusung. “Kalau dua periode sebelumnya, 2015 dan terutama 2017 masih terasa soal menginginkan kebijakan afirmasi. Tapi, kalau sekarang tidak ada lagi,” kata Lena, akhir pekan lalu.

Pernyataan ini bisa dilihat contohnya di Pilkada Kalimantan Timur. Sebelumnya, nama Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari sempat santer dan diunggulkan menjadi calon gubernur sebelum akhirnya menghadapi masalah hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga tidak memungkinannya maju di pilkada.

Setelah Rita, politisi perempuan Golkar, Hetifah, juga sempat dijagokan maju di Pilkada Kaltim. Anggota DPR Dapil Kaltim-Kaltara ini direkomendasikan oleh sebagian besar DPD tingkat kabupaten/kota, organisasi sayap, dan ormas yang mendirikan dan didirikan Golkar. Namun, DPP Golkar pada akhirnya memutuskan nama Andi Sofyan Hasdam dan Nusyirwan Ismail sebagai sebagai pasangan cagub dan cawagub yang didukung.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi sepakat dengan Lena. Ia menilai, konstelasi politik saat ini sangat erat kaitannya dengan Pemilu 2019 mendatang dan memicu partai politik lebih mengutamakan meraih kemenangan. Karena itu, kata dia, nuansa afirmatif perempuan tak terlihat di pilkada kali ini.

Sementara Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol) Yudha Irlang menilai, minimnya keikutsertaan perempuan tak terlepas dari soal perekonomian. “Kendala terberat bagi perempuan (saat) ditanya ‘punya duit berapa?’,” kata Yudha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement