REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, putusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Saya telah berpendapat bahwa Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan Presiden yang tetap dipertahankan oleh MK itu sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan spirit konstitusi kita," ujarnya, Kamis (11/1).
Putusan tersebut, lanjut Yusril, berarti hanya partai atau gabungan partai yang dalam pemilu DPR lima tahun sebelumnya yang dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, dengan jumlah kursi DPR minimum 20 persen atau perolehan suara sah secara nasional minimal 25 persen.
Sedangkan yang tidak memenuhi ambang batas itu tidak boleh mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Segala argumen yang dikemukan untuk menolak Pasal 222 UU Pemilu itu pupus sudah. MK tetap berpendirian soal ambang batas itu adalah kewenangan pembentuk UU yakni Presiden dan DPR.
Ambang batas juga, menurut MK, tidak bertentangan dengan UUD 45. Walau Pemilu dimulai pada 2019 yang dilaksanakan serentak, MK berpendapat hasil Pemilu DPR lima tahun sebelumnya tetap valid dan tidak basi untuk dijadikan patokan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden lima tahun ke depan.
"Maka semuanya saya serahkan kepada sejarah, apakah pendapat saya atau pendapat mayoritas hakim MK yang benar dalam hal ambang batas pencalonan Presiden ini. Biarlah sejarah yang menjawabnya dengan suatu harapan. Generasi yang akan datang akan membaca data dan dokumen masa sekarang yang merekam semua perdebatan itu. Nanti akan menilainya dengan penuh kejujuran terhadap data sejarah yang kita tinggalkan," katanya.
Namun Yusril menyadari, apapun juga kekecewaan terhadap putusan MK, baik putusan aklamasi maupun dissenting opinion, putusan itu berlaku final dan mengikat. Ruang berdebat mengenai presidential threshold kini berpindah menjadi wacana akademis saja. Secara hukum, masalah itu sudah selesai dan final.
Meski begitu Yusril mengatakan bahwa idealisme tetaplah harus ada dan terus diperjuangkan. Walau suatu ketika ia bisa kalah atau dikalahkan, namun kehidupan manusia dan peradaban akan terus berlanjut.
"Orang-orang seperti saya, sudah biasa mengalami kekalahan berhadapan dengan pemegang otoritas, termasuk pula para hakim MK. Pikiran dan pendapat saya tidak selalu sama dengan pendapat orang lain. Hal itu saya anggap wajar saja," ujarnya lagi.