REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua DPR Setya Novanto meyakini ada nama besar lain selain dirinya terlibat dalam korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el). Pada hari ini, Novanto kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
"Ya nama besar, saya tidak tahu yang dimaksud punya status sosial atau pengaruh tertentu, kita lihat saja nanti, proses akan membuktikan tapi yang jelas saya melihat peran Pak Novanto tidak dalam posisi yang sangat berpengaruh dalam ini karena soal penganggaran, perencanaaannya sudah dirancang jauh dan itu ada lembaganya, ada instansinya. Kita lihat siapa inisiator proyek e-KTP ini," kata pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya di Jakarta, Kamis (11/1).
Firman juga sempat menyatakan, bahwa Novanto akan mengajukan status pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) ke KPK. "Nanti fakta-fakta bisa kelihatan, di mana posisi Pak Nov. Jadi apa yang disebut dengan berpengaruh sebenarnya pada proses penganggaran. Siapa inisiator penganggaran, ini penting, di mana proyek ini diusulkan. Baru kemudian nanti mengalir pada soal-soal yang lain, termasuk kebijakan. Ada kebijakan eksekutif, ada kebijakan legislasi, ini proses yang mesti dipotret secara besar. Kita lihat saja nanti," tambah Firman.
Infografis, Misteri Hilangnya Tiga Nama dalam Dakwaan Setya Novanto.
Dalam perkara ini Novanto didakwa menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Sedangkan, jam tangan diterima Novanto dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 2,3 triliun.