Jumat 29 Dec 2017 00:04 WIB

Diperiksa Kasus BLBI, Ini Kata Boediono

Wakil Presiden ke-11 Boediono usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis(28/12).
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Presiden ke-11 Boediono usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis(28/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014 Boediono enggan berkomentar banyak seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/12).

"Saya dimintai keterangan mengenai beberapa hal yang terkait dengan masa jabatan saya sebagai Menteri Keuangan," kata Boediono yang diperiksa sekitar enam jam itu.

KPK memeriksa Boediono sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Adapun tindak pidana korupsi yang dilakukan Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Namun, selanjutnya Boediono tidak menjelaskan lebih lanjut terkait materi pemeriksaannya kali ini dan menyerahkannya kepada KPK. "Kalau substansinya saya serahkan kepada KPK untuk menyampaikan mana yang disampaikan, mana yang tidak," ucap Boediono.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan pemeriksaan terhadap Boediono dilakukan dalam kapasitas yang bersangkutan sebagai mantan Menteri Keuangan 2001-2004 atau pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebelumnya, KPK baru saja menahan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung pada Kamis (21/12) lalu di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK untuk 20 hari ke depan.

KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017 lalu. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun. KPK telah menerima hasil Audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan. Nilai Rp 4,8 triliun itu terdiri dari Rp 1,1 triliun yang dinilai "sustainable" dan ditagihkan kepada petani tambak.

Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan. Sebelumnya berdasarkan perhitungan BPK hanya Rp 220 miliar yang kemudian benar-benar tidak menjadi bagian dari indikasi kerugian keuangan negara tersebut. Sehingga dari total Rp 4,8 triliun, indikasi kerugian keuangan negaranya adalah Rp 4,58 triliun.

Syafruddin pun sempat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukannya dalam pembacaan putusan pada 2 Agustus 2017 lalu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement