Kamis 28 Dec 2017 09:24 WIB

Populisme Islam (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “populisme Islam” mulai menjadi wacana akademis di kalangan para ahli. Istilah itu digunakan untuk melihat fenomena politik Islam sejak terjadinya sejumlah aksi massa kalangan Muslim Indonesia pada akhir 2016 dan awal 2017 terkait dengan Pilkada DKI Jakarta.

Penulis “Resonansi” ini sering mendapatkan pertanyaan tentang populisme Islam Indonesia, baik dari audiens dalam negeri maupun luar negeri. Pertanyaan itu sering mengandung nada bahwa populisme Islam tidak hanya akan menguasai politik, tetapi juga arsitektur Islam Indonesia.

Wacana dan persepsi mereka tentang populisme Islam terkait dengan keberhasilan mereka mengalahkan pasangan cagub-cawagub Ahok-Djarot dari cagub-cawagub Anies-Sandi. Bagi mereka, kemenangan Anies-Sandi merupakan kemenangan populisme Islam yang tengah bangkit dan dapat terus menemukan momentumnya dalam pilkada 2019 dan selanjutnya pileg dan pilpres 2019.

Lebih jauh, kebangkitan populisme Islam terkait dengan sejumlah aksi massa kalangan Muslim Indonesia. Untuk itu, perlu diingat kembali, gelombang aksi yang juga disebut “Aksi Bela Islam”, bermula dengan aksi 14 Oktober 2016 (1410), 28 Oktober 2016 (2810), 4 November 2016 (411), 2 Desember 2016 (212), 11 Februari 2017 (112), 21 Februari 2107 (212 jilid 2), 31 Maret 2017 (313), dan aksi 5 Mei 2017 (Aksi 55).

Aksi-aksi massa tersebut jelas dipicu pernyataan cagub yang sekaligus pejawat Gubernur DKI Jakarta Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama dalam kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu (27/9/2016). Pada waktu itu, Ahok di depan warga mengutip surah al-Maidah ayat 51; ia pada intinya menyatakan agar para pemilih tidak “dibohongi” dengan menggunakan ayat tersebut untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan Nasrani—tentu saja termasuk ia sendiri.

Pernyataan Ahok segera menimbulkan kontroversi begitu videonya yang sudah diedit diunggah Buni Yani ke Youtube. Di kalangan Muslim terjadi perbedaan persepsi: sebagian menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama, sebagian lagi menilai Ahok tidak menodai Islam.

Kontroversi menjadi berganda dengan terbitnya pendapat dan sikap MUI Pusat (11/10/2016) yang mencakup lima poin. Pada intinya MUI menegaskan, kaum Muslim wajib memilih pemimpin Muslim sesuai surah al-Maidah ayat 51. Juga ditegaskan, pernyataan Ahok yang menyebutkan larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani sebagai kebohongan adalah haram dan termasuk ke dalam tindakan penodaan Alquran. Akhirnya, menyatakan ulama yang menyampaikan surat al-Maidah 51 sebagai bohong adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.

Kegandaan kontroversi yang mendorong kian meningkatnya eskalasi religio-politik terkait dengan kenyataan bahwa sikap MUI ini kemudian dianggap sebagai fatwa MUI Pusat. Hal ini terlihat dengan munculnya Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI di bawah pimpinan Bachtiar Nasir.

Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin pernah menyatakan, GNPF tidak memiliki kaitan dengan MUI. Tetapi, GNPF kian menemukan momentum ketika pimpinan FPI Rizieq Shihab beserta sejumlah aktivis dengan kecenderungan paham praksis keislaman yang sama bergabung.

Penting dicatat, ormas arus utama Islam Indonesia, khususnya NU dan Muhammadiyah, terlihat kagok menyikapi semua perkembangan ini. Banyak kalangan pimpinan NU menolak politisasi kasus Ahok, sedangkan elite Muhammadiyah lebih kentara bersikap ambigu.

Di tengah kontroversi dan polarisasi seperti itu, aksi 212 berlangsung dengan dihadiri sangat banyak massa. Kenyataan membanjirnya massa memadati kawasan Monas dan berbagai jalan di sekitarnya menjadi subjek perdebatan pula. Apakah mereka secara genuine merepresentasikan kebangkitan populisme Islam?

Terlepas dari lapisan massa berbeda yang ikut dalam aksi besar itu, pimpinan aksi dan para pendukungnya melihat aksi 212 sebagai pertanda kebangkitan populisme Islam. Aksi 212 khususnya menimbulkan euforia tentang kesatuan dan kebangkitan Islam Indonesia, baik secara keagamaan, politik, maupun ekonomi.

Gejala itu dapat terlihat dari pernyataan yang digaungkan, yang sederhananya: “Jika Donald Trump bisa menang dengan populismenya, mengapa umat Islam Indonesia tidak?” Anggapan dan pernyataan ini secara implisit mengandung makna aksi-aksi massa yang umumnya damai itu mengandung agenda politik tertentu.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah secara historis ada populisme Islam itu? Jika ada, apakah realitas sosiologis-politis masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia memungkinkan kebangkitan hegemoni politik populisme Islam?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement