REPUBLIKA.CO.ID, MENTAWAI -- Masyarakat desa yang tinggal di pulau-pulau terluar Indonesia membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) atau tenaga terampil yang memahami administrasi keuangan. Keterampilan pengelolaan keuangan dibutuhkan untuk mengelola dana desa yang besarannya berkisar Rp 700 juta hingga miliaran. Angka tersebut tentu tergolong besar untuk desa-desa kecil yang letaknya tak jauh dari perbatasan terluar Indonesia.
Kabupaten Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat misalnya, mengalami 'krisis tenaga terampil' dalam pengelolaan dana desa. Sebagian besar desa yang ada belum pernah menerima aliran dana langsung dengan nominal yang cukup besar, serta diminta untuk memikirkan pola pemanfaatannya sendiri.
Camat Siberut Barat, Kepulauan Mentawai Jop Sirirui menjelaskan, dilema pemanfaatan dana desa dirasakan nyaris seluruh kecamatan di Kepulauan Mentawai. Menurutnya, ada kesan pemerintah pusat menyamaratakan kondisi lapangan antara desa-desa tertinggal dengan desa lainnya yang lebih maju. Padahal, kata dia, desa-desa di Mentawai terbilang kekurangan masyarakat yang terampil dalam pengelolaan keuangan.
"Pembangunan dimulai dari desa boleh. Tapi SDM-nya gimana? Perlu perencanaan dan pengawasan. Kalau kami pengawasan. Nah perencanaan ini, warga desa harus ada pembinaan," kata Jop saat ditemui di Siberut Utara, Selasa (26/12).
Jop menambahkan, mengatasi masalah minimnya SDM terdidik dalam hal pengelolaan keuangan ini, pihaknya memiliki melakukan jemput bola ke desa-desa terpencil. Tim dari kecamatan mencoba turun langsung ke lapangan untuk melakukan koordinasi dalam perencanaan pemanfaatan dana desa. Jop tak ingin dana desa yang cukup besar tidak dimanfaatkan secara arif demi kesejahteraan masyarakat di masa depan.
"Ya sambil jalan lah. Terpenting adalah pembangunan fisik. Mentawai ini masih tertinggal, artinya yang penting ada akses dulu," katanya.
Kompleksitas pemanfaatan dana desa di Kepulauan Mentawai diakui oleh Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet. Ia mengatakan, sebagai salah satu daerah terluar di Indonesia, sekaligus kabupaten paling tertinggal di Sumatra Barat, wilayah yang ia kelola memiliki problem-problem pembangunan yang cukup kompleks. Menurutnya, permasalahan paling pokok yang dihadapi Mentawai bila ingin melepas titel daerah tertinggal, adalah akses jalan yang memadai. Hal ini lah yang terus-terusan ia perjuangkan.
"Kedua, adalah SDM yang cukup. Makanya seluruh kecamatan di Mentawai ingin tambah sekolah," katanya.
Kebutuhan SDM, kata Yudas, tak hanya berkaitan dengan pengelolaan dana desa. Ia mengungkapkan, melimpahnya komoditas perkebunan di Mentawai membutuhkan masyarakat yang melek teknologi. Mentawai memang salah satu daerah penghasil karet. Sayangnya, terbatasnya akses jalan dan minimnya infrastruktur telekomunikasi membuat masyarakat belum bisa mengelola kebun tradisional mereka secara profesional.
"Komoditas ada, namun kalau SDM tidak disiapkan sama saja. Misalnya komoditas karet, marketing pemasaran kan internet butuh. Nah desa ini nggak ada internet. Tapi kami berproses," katanya.
Berdasarkan catatan Pemprov Sumbar, hingga pertengahan November 2017 nyaris separuh nagari atau desa di Sumbar belum memenuhi persyaratan untuk melakukan transfer dana desa tahap kedua dari kas daerah ke kas desa atau nagari.
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sumatra Barat mencatat, masih ada 293 daro total 885 nagari di 14 kabupaten/kota yang belum melakukan pencairan. Alasannya, ratusan nagari tersebut tak kunjung mengirimkan laporan pemanfaatan dana desa tahap pertama tahun 2017. Pencairan dana desa memang mensyaratkan adanya laporan penggunaan dana yang dianggarkan APBN tersebut di periode sebelumnya. Padahal, dana desa tahap pertama untuk seluruh nagari di Sumatra Barat sudah cair sepenuhnya.
Sumatra Barat sendiri mendapat mendapat jatah dana desa hingga Rp 765 miliar pada 2017 ini. Seluruh dana tersebut dibagi untuk 885 nagari/desa, dengan sistem pencairan dua tahap. Tahap pertama sebanyak 60 persen, dan tahap dua 40 persen.
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Moch Fachri mengungkapkan, setiap desa diharapkan bisa menggali potensi desa masing-masing. Berbagai sektor bisa saja digali, termasuk pariwisata, kuliner, atau ekonomi kreatif. Menurutnya, Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk mendampingi perangkat desa dalam menyerap anggaran dana desa.
"Selama ini, kita punya banyak sekali komoditas. Tapi tidak pernah fokus untuk mengembangkan atau mendorongnya menjadi satu produk unggulan," ujar Fachri.
Salah satu kendala yang dihadapi setiap desa dalam menggarap industri kecil adalah pemasaran yang terbatas. Menurutnya, dana desa juga bisa dimanfaatkan untuk menggenjot pemasaran termasuk melalui marketplace daring yang kini sudah marak.
"Persoalan selama ini adalah marketing yang dikhawatirkan. Tapi pemerintah desa juga harus komitmen untuk memenuhi permintaan dengan standar yang diperlukan," katanya.
Sementara itu, antropolog yang lama memfokuskan diri untuk Kepulauan Mentawai, sekaligus Program Manager Program Peduli Kemitraan, Tarida Hernawati, menilai bahwa dana desa semestinya memang bisa dimanfaatkan untuk mendayagunakan potensi masyarakat tanpa meninggalkan kearifan lokal. Seperti yang dilakukan di Dusun Gorottai, Desa Malacan, Siberut Utara, Tarida dan timnya melakukan mediasi dengan Pemkab Kepulauan Mentawai untuk memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat sebagai solusi penanganan banjir.
Melalui Program Peduli yang dikoordinasi di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Tarida mendorong masyarakat di Dusun Gorottai untuk membangun pemukiman baru di seberang sungai tak jauh dari pemukiman mereka saat ini.
"Tugas kami sebetulnya hanya fasilitasi pemerintah dengan masyarakat. Terpenting adalah adanya dialog dua arah agar seluruh sumber pendanaan, entah dari dana desa, atau DAK, bisa termanfaatkan demi masyarakat," katanya.