REPUBLIKA.CO.ID, Kehidupan warga kelurahan Temas, Kota Batu, Ita Diana (41) sebelumnya berjalan baik pada umumnya. Namun rupanya berubah saat bisnisnya jatuh hingga membuatnya harus meminjam uang pada sebuah koperasi. Tak mampu membayar, hutang tersebut pun membengkak hingga Rp 350 juta.
Karena khawatir ditagih, Ita mengaku sangat memghindar untuk berlama-lama di rumahnya. Kekosongan dan tekanan pikiran serta beban berat membuatnya terjerumus dalam transaksi jual beli oleh oknum dokter di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang.
Ita menceritakan, awal keterlibatan dengan oknum dokter bermula dari kehadirannya di RSSA Malang. Lebih tepat, saat itu dia acap menjaga temannya yang tengah tertimpa sakit dan dirawat di rumah sakit tersebut. "Karena saya tidak berani pulang, saya suka menginap di RSSA, tidur di mushala," ujar perempuan berhijab ini dalam isakan tangisnya saat ditemui di Kantor Perindo Malang, Kamis (21/12).
Kisah kesulitan Ita sudah bukan hal rahasia lagi bagi sejumlah staf RSSA. Ada beberapa staf yang mengetahui beban hidupnya hingga terdapat salah satu di antaranya yang menyarankan jalan keluar. Dari situ, dia pun dipertemukan dengan Dokter R (inisial) yang saat itu tengah mengurus seseorang yang membutuhkan donor ginjal (inisial E).
Dalam sejumlah pertemuan, Ita mengungkapkan pada penerima donor bahwasanya dia tidak menjual organ ginjalnya. Dia semata-mata ingin saling membantu, baik dari sisi Ita yang membutuhkan uang maupun penerima donor yang menginginkan kesembuhan. "Saya bilang ke istri E kalau operasi ini dalam hukum Islam itu dosa. Kalau Allah meridhoi, umur saya mungkin bisa dipanjangkan. Tapi kalau saya tidak diberi umur panjang, saya minta janji bantu lunasi hutang saya tidak diingkari. Dan dia waktu bilang siap membantu," kata dia.
Pada proses transaksi ini, Ita mengaku tak menerima berkas apapun secara formal dari oknum dokter yang menjadi mediatornya dengan penerima donor E. Ita tak menampik tidak ada perjanjian di atas kertas untuk membantu pelunasan hutangnya yang mencapai Rp 350 juta. Semua itu terjadi karena hutang yang melilitny sehingga membuatnya terdesak dan tergelincir pada kasus ini.
Sebelum operasi, Ita mengungkapkan, dirinya sempat diinapkan di hotel selama sepekan, bahkan setiap harinya memeroleh uang saku Rp 75 ribu. Setelah operasi yang dilaksanakan pada 25 Februari 2017, Ita baru dibayar Rp 70 juta secara langsung dari penerima donor. Kemudian pembayaran berlanjut per bulannya sebanyak dua kali dengan nominal berbeda, yakni Rp 1,5 juta dan 2,5 juta. Secara keseluruhan, Ita baru menerima bayaran dari penerima donor Rp 74 juta. "Terus selanjutnya saya ke situ (rumah penerima donor--Red) lagi, tapi saya malah dimaki-maki. Katanya, tidak ada janji "hitam di atas putih" sehingga dirinya bisa dibawa ke jalur hukum.
Karena takut dan tak paham ihwal hukum, dia pun menemui dokter R yang menjadi mediatornya selama ini. "Saya temui dokter R, tapi dia bilangnya 'ikhlaskan saja' dan minta saya pulang saja. Saya bingung apalagi anak saya mau ke sekolah dan saya minta tolong waktu. Waktu itu banyak perawat yang bantu saya dengan urunan (patungan). Mereka kenal saya semua sebenarnya tapi sekarang mereka takut. Jadinya diam semua," tambah dia.
Dengan adanya pengaduan ini, Kuasa Hukum Yassiro Ardhana Rahman menyatakan akan melapor oknum dokter sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menurut dia, oknum dokter telah melakukan pelanggaran karena sudah melakukan tindakan medis tanpa diketahui dan persetujuan Keluarga pendonor. Seperti diketahui, transplantasi ginjal hanya boleh dilakukan karena faktor kemanusiaan dan sudah mendapatkan persetujuan dari keluarga pendonor. "Sementara ini dilakukan diam-diam. Ini jelas ada pelanggaran SOP," kata dia.
Selain itu, tindakan oknum dokter dinilai memiliki motif komersial dan ekonomi. Pihak penerima donor sebelumnya menyatakan siap menanggung hutang Rp 350 juta tapi kenyataannya pendonor baru menerima Rp 74 juta. Saat ditagih, penerima donor justru tidak ada itikad baik dalam hal ini.
Untuk menguatkan laporan pendonor, Yassiro menegaskan, memiliki sejumlah bukti termasuk chat WhatsApp antara Ita dan dokter. Kemudian terdapat pula luka bekas jahitan operasi yang dimiliki Ita pada bagian pinggangnya. "Dan saya harap ke depan tidak ada lagi kasus jual beli organ tubuh di Malang dan Indonesia," jelasnya.
Di kesempatan lain, Penerima Donor E menolak berkomentar saat ditemui wartawan di Jalan Metro, Malang. Hal serupa juga terjadi pada perwakilan RSSA Malang melalui bagian Humasnya. "Pimpinan tidak ada di tempat jadi belum tahu kapan klarifikasinya," kata Staf Humas Ajeng Galuh saat dikonfirmasi wartawan.